mJHEzxukdj31fhzMIHmiGai4Yfakiv2Yjgl83GlR
Bookmark

Bukan Sekedar Mie Ayam: Kisah Tentang Luka dan Kehidupan

Bagaimana jika keputusan untuk mengakhiri hidup ditunda hanya karena seporsi mie ayam? Inilah premis mengejutkan sekaligus mengharukan dari buku Seporsi Mie Ayam Sebelum Mati, karya terbaru Brian Khrisna. Melalui tokoh Ale, pria berusia 37 tahun yang mengalami depresi dan merasa hidupnya tidak lagi berarti. Brian merangkai kisah sederhana yang sarat makna, penuh empati, dan mengusik kesadaran kita tentang pentingnya hadir bagi sesama.

Cerita dibuka dengan niat Ale untuk mengakhiri hidupnya setelah melewati serangkaian kegagalan dan kehampaan. Namun sebelum meneguk segelas racun, ia merasa perlu mengisi perutnya terlebih dahulu. Pilihannya jatuh pada mie ayam—makanan favorit masa kecilnya. Dari sini, bab demi bab membawa kita menyusuri titik balik hidup Ale. Setiap mangkuk mie ayam yang ia cicipi, setiap percakapan sepele dengan orang asing, perlahan mengendurkan tali pikiran suram yang membelitnya.

Buku Seporsi Mie Ayam Sebelum Mati (Pinterest)

Gaya bahasa Brian Khrisna begitu khas: ringan, satir, dan penuh ironi, namun tetap berhasil menyampaikan pesan mendalam. Ia tidak memaksa pembaca untuk "bangkit" atau "semangat" dengan cara klise. Sebaliknya, ia memberi ruang bagi luka untuk hadir, dan bagi pembaca untuk memahami bahwa tidak semua orang ingin diselamatkan—kadang mereka hanya ingin dimengerti.

Dibalik kisah fiksinya, buku ini lahir dari riset yang kuat. Brian melakukan wawancara dengan penyintas depresi dan konsultasi dengan tenaga profesional sejak 2023. Pendekatan ini menjadikan Seporsi Mie Ayam Sebelum Mati bukan sekadar fiksi populer, melainkan narasi yang berakar pada kenyataan psikologis dan sosial yang relevan.

Tak bisa disangkal, tema kesehatan mental yang diangkat cukup berat. Namun kekuatan buku ini justru terletak pada penyajiannya yang hangat, bahkan menghibur. Tanpa terkesan menggurui, Brian berhasil mengajak pembaca untuk memahami depresi bukan sebagai kelemahan, tapi sebagai pengalaman manusiawi yang butuh waktu, ruang, dan keberanian untuk dihadapi.

Kekurangan buku ini mungkin terletak pada pembangunan karakter pendukung yang terasa kurang mendalam. Namun hal ini bisa dimaklumi, karena narasi berfokus sepenuhnya pada perjalanan batin Ale.

Lebih dari sekadar kisah tentang seseorang yang ingin mati, buku ini adalah perayaan atas hal-hal kecil yang membuat hidup tetap layak dijalani: obrolan ringan, makanan hangat, atau sekadar bertemu orang asing yang peduli.

Seporsi Mie Ayam Sebelum Mati adalah cermin yang lembut bagi kita semua—bahwa harapan sering kali hadir dalam bentuk paling sederhana. Dan mungkin, sesederhana seporsi mie ayam.

*Windiyanti Laily Nuraini

0

Posting Komentar