mJHEzxukdj31fhzMIHmiGai4Yfakiv2Yjgl83GlR
Bookmark

Musala Kampus yang Anonim

AKTIVITAS-siswi MA Abu Darrin Bojonegoro saat mampir sholat di Unugiri. (dok.man)

Oleh: Usman Roin *

Arusgiri.com-Keberadaan musala Unugiri yang anonim (tanpa nama) menggelitik sekali. Mengapa keberadaannya tidak dikasih papan nama? 

Pertanyaan di atas, hakikatnya menjadi kegelisahan penulis. Di mana-mana seamatan penulis, tempat ibadah musala maupun masjid pasti ada papan namanya. Selain bisa menyebutkan identitas nama bila pernah singgah, kehadirannya juga bisa diviralkan secara tepat-cepat ke publik.

Jamak kita ketahui, ada musala hingga masjid yang dikategorikan "tertua". Itu karena, terdapat keterangan nama plus informasi pendirian tertampang, yang kemudian bisa dilacak oleh siapa saja.

Musala di Unugiri sepertinya misteri. Saking misterinya, penulis sampai mencari tahu ke beberapa sumber perihal kejelasan namanya. Hanya saja, beliau-beliau yang telah lama mengabdi, juga luput mengetahui identitas persisnya.

Hingga kemudian, informasi nama musala tersebut penulis dapatkan kala hunting berita "megengan" ketika kegiatan tersebut diselenggarakan di situ. Dari sumber yang penulis dapatkan, nama musala tersebut adalah "Daarul Maarif".

Konon, dari beberapa sumber yang penulis wawancarai, musala tersebut dahulunya masih berdinging papan kayu, serta dijadikan rutinan ngaji mingguan.

Meski mengalami pembanguan serta penyempurnaan sarana toilet dan tempat wudlu, bagi penulis masih menyisakan PR. Yakni, papan nama yang perlu ditempelkan sebagai identitas sarana ibadah berjamaah serta fungsi kegiatan lainnya.

Alhasil bila ada orang yang sekadar mampir, atau tamu yang berkunjung, serta para mahasiswa sendiri, kala manjing waktu sholat bisa memanfaatkan keberadaan musala untuk menjalankan ibadah tanpa harus repot-repot keluar.

Pertanyaannya, apakah masih ada rasa "malu" karena sudah universitas, tetapi sarana ibadah yang dimiliki baru musala? 

Bagi penulis, rasa itu tidak ada. Bahkan penulis kesampingkan jauh-jauh. Terlebih, hasil respon mayoritas mahasiswa yang disampaikan pada wisuda baru-baru ini, musala menjadi tempat favorit selain warung “pergerakan” pak Tolib.

Justru bila kemudian kampus mau membangun masjid, Musala Daarul Maarif bisa menjadi embrio biologis kelahirannya. 

Artinya, syiar ibadah jamaah yang telah menjadi karakter stakeholder, oleh sebab daya tampung yang tidak memenuhi, menjadi cikal bakal dibangunnya masjid dengan kapasitas yang lebih besar.

Prosesnya, dari Musala Daarul Maarif dirubah menjadi Masjid Daarul Maarif atau nama lain yang dipilih. Toh bila musala tersebut dirubah nama dan fungsinya sebagai masjid, amatan penulis jamaahnya sudah memenuhi. Khotibnya pun turah-turah

Laboratorium

Bila fungsi di atas terwujud, keberadaannya bisa dijadikan laboratorium dosen serta mahasiswa agar terampil menjadi khatib, muazin, yang kemudian siap dan matang mengabdi di masyarakat.

Oleh karenanya, kemaslahatan kecil di atas, akan lebih baik direnungkan oleh pimpinan serta yang membidangi untuk dilakukan perubahan peran dan fungsi keberadaan musala.

Apalagi dalam kacamata penulis, proses-proses tersebut bila dilalui, ada kemenarikan dari sudut narasi sejarah bila kemudian diabadikan. Bukan sekadar  membangun "masjid" yang unhistory dengan tempat ibadah yang dimiliki.

Kita tidak boleh lupa, banyak masjid-masjid kini bertengger bagus, dahulunya bangunan musala kecil. Kemudian berdasar kemaslahatan agar bisa menampung lebih banyak jamaah, perubahan nama dilakukan. Hal itu tidak terkecuali masjid-masjid di kampus.

Selain alasan rasional di atas, kehadiran musala yang telah ada, tidak lain agar siar sholat berjamaah menjadi kuat, terbentuk nyata, hingga menjadi kultur stakeholder kampus.

Maknanya, stakeholder kampus tanpa kerkecuali bisa guyub bareng meluangkan waktu sholat berjemaah di musala.

Ide Remeh

Tulisan kecil ini, hakikatnya ide remeh agar musala kampus ramai oleh aktifitas ibadah syukur fungsi lain. Nyatanya, belum semua stakeholder kampus -dosen, tenaga kependidikan, mahasiswa- komitmen ikut memakmurkannya.

Apakah karena ada perasaan malu? 

Bagi penulis dan beberapa testimoni jamaah yang aktif tidaklah malu sama sekali. 

Justru, akan lebih malu manakala sudah ada bangunan yang bagus dan representatif, serta dibangun dengan biaya yang tidak sedikit, tetapi tinggal memakmurkannya saja yang ogah. Yang jamak terjadi, malah milih sholat disudut masing-masing ruangan tempat kerja.

Akhirnya, bila dari musala kampus yang masih kecil saja kebiasaan siar jamaah sholat wajib tidak dibentuk, lalu bagaimana bila sudah punya masjid? Padahal untuk membentuk kebiasaan tersebut, waktu yang diperlukan tidaklah pendek. 

Jika demikian, akan lebih baik bila fasilitas yang sudah ada dioptimalkan sebagai penguat perilaku beragama. Serta menjadi pengingat masing-masing pribadi sregep berjamaah, berkah hidayah Allah Swt, ikut berkontribusi melahirkan pribadi mukhlis yang tulus mengabdi kepada institusi.

Semoga, musala yang anonim lekas bernama. Amin ya rabbal ‘alamin.


* Penulis adalah Dosen Prodi PAI, Fakultas Tarbiyah, Universitas Nahdlatul Ulama Sunan Giri.

Posting Komentar

Posting Komentar