mJHEzxukdj31fhzMIHmiGai4Yfakiv2Yjgl83GlR
Bookmark

Tiburtius Catur Wibawa, Menolong Manusia dan Makhluk Tuhan


Oleh: Intan Setyani

“Bagi saya menolong orang bukan karena latar belakang, tetapi karena sama-sama manusia dan makhluk Tuhan.”

Berbeda dalam hal memilih agama bukanlah hambatan untuk baik kepada semua orang, sekalipun mereka memiliki perbedaan hidup. Itulah yang menjadi pegangan Tiburtius Catur Wibawa. Pria katolik yang lahir di Banyuwangi itu sangat getol sekali membumikan nilai-nilai sosial  kepada sesamanya. Terlepas dia seiman atau bukan itu sudah tidak lagi menjadi persoalan baginya. 

Ya, Tiburtius Catur Wibawa atau sapaan akrabnya Romo Catur merupakan pendiri Griya Ekologi Kelir (GEK) sekaligus pastor disalah satu gereja yang ada di  Banyuwangi. Ia hidup dan dibesarkan di tengah-tengah kemajemukan dari keragaman agama yang ada di sekitarnya. Termasuk lingkungan tempat ia tinggal, pendidikan tempatnya mengajar dan juga keluarga besarnya.

Menurut pria yang juga mantan kepala sekolah di pendidikan tingkat atas ini, kakek neneknya badalah Muslim, Buk Lik-nya beragama Hindu, sepupunya beragama Kristen Protestan, dan saudara jauh juga ada yang beragama Budha. Sehingga lengkap keluarga besarnya. 

“Semua kakek dan nenek  Islam. Buyut saya seorang modin. Kakek nenek membebaskan anak-anaknya memilih agama. Bibi  saya Hindu,” tambahnya.

Sebagai mantan kepala sekolah, Romo Tiburtius Catur Wibawa saat itu memiliki tenaga pendidik atau guru-guru yang  beragam mulai dari Islam, Kristen, Katolik dan lainnya. Begitu juga dengan murid-muridnya, 25% Katolik, 50% Kristen, 25% sisanya Islam, Hindu. 

Keluarga yang beragam mengajarkannya sejak kecil untuk tidak melihat  agama dalam berinteraksi dengan siapapun, sebab menurutnya semua adalah saudara. Dari pengalaman-pengalaman seperti ini kemudian juga tugasnya di sekolah, lalu pelayanan di sekolah pun juga tidak menjadi persoalan baginya untuk memperlakukan sama siapapun itu, karena guru-guru kami beragam. 

“Kami di sekolah itu juga membutuhkan guru dan tidak mudah mencari guru-guru saat itu untuk mau tugas di Banyuwangi,” tegasnya.

Dalam hal lain, misalkan untuk membantu sesama ia berprinsip, baginya menolong orang bukan karena latar belakangnya, tetapi manusianya kita bantu, kita tolong, sama-sama sebagai ciptaan tuhan, dan sesama kami. 

“Bagi saya menolong orang bukan karena latar belakangnya, tetapi karena sama-sama manusia dan makhluk Tuhan,” ucap pria yang gemar menggunakan blankon itu.

Sejalan dengan GEK yang digagasnya itu juga memiliki program  berdampak tidak hanya untuk lingkupnya saja, tapi juga untuk masyarakat luas. Terbuka untuk siapa saja  merasa nyaman menggunakannya, termasuk jika digunakan oleh lembaga islam.

“Meskipun mereka tahu tempat ini miliknya lembaga katolik, mereka memanfaatnya dan menggunakannya,” jelasnya dengan tegas.

Pria ini memiliki prinsip hidup  cukup unik, tentu saja tidak banyak orang yang melakukannya. Romo memilih tidak menikah, karena dirasa tidak menikah ada pilihan hidupnya. Ada sesuatu hal yang ingin dicapai. Tidak menikah untuk nilai-nilai yang luhur, untuk pelayanan. Begitulah tuturnya dalam sebuah forum yang penulis ikuti dengan gelagatnya  selalu membuat mereka ketika mendengarkan akan kecanduan dibuatnya.

“Kalau dari gereja katolik memiliki penghargaan sendiri untuk orang-orang yang tidak menikah.”

Saat ditanya bagaimana lingkungan melihat prinsip untuk tidak menikah ini? Romo menjawab bahwa itu tidak pernah menjadi masalah. Karena masyarakat melihatnya sebagai bentuk keyakinan dalam agama masing-masing. 

“Ya kali. Boro-boro di lingkungannku biasa saja, belum bekerja saja diobrolin, apalagi itu tidak menikah,” bersama wajah yang kesal saat mengingatnya. 

Romo merupakan pegiat sosial dan memilki karya salah satunya adalah dengan adanya  GEK itu yang didirikannya sebagai srana edukasi untuk masyarakat sekitar. Di dalamya terdapat rumah osing yang dirasa pas dan cocok sekaligus sebagai upaya untuk melestarikan budaya nenek moyang. 

Segala yang dilestarikan perlu dirawat termasuk budaya sekitar. Di GEK sendiri saat berkunjung ke sana, akan disuguhi bermacam rumah dan di rumah-rumah itu dibangun dengan corak pokok rumah osing dengan modifikasi yang beragam. 

Mulai dari modifikasi panggung, tingkat dan masih ada macam lainnya. Wah, siapa sih yang tidak ingin berkunjung kesana, sembari jalan-jalan pastinya juga belajar. Yang datang dan memanfaatkannya tidak hanya dari satu kalangan saja, tapi juga meluas. 

Menariknya, romo mengungkapkan tidak akan megintervensi mereka yang mengunakan dan memanfaatkan GEKnya. Mereka dengan acaranya hanya menggunakan tempat. Romo menuturkan juga menghindri simbol-simbol kekristenan di tempat tersebut, sebab tempat itu untuk umum.

Kegiatan-kegiatan yang ditelurkan di GEK ini sangatlah banyak, ada juga kegiatan berbagi sembako atau kegiatan bercocok tanam. Menanam untuk dimakan, dan memakan apa yang ditanam. 

Bercocok tanam merupakan kegiatan yang sudah ada dan dijalanka di GEK itu sendiri. Masyarakat diajak untuk bersama-sama menanam apa yang bisa dimakan dan dinikmati hasilnya. 

Martina Puspita adalah salah satu dari siswa yang mendapatkan beasiswa untuk dapat terus disekolahkan. Agama Islam yang dianutnya tidak menghentikan dirinya dari kesempatan mendapatkan bantuan biaya sekolah. Bagi Martina, Romo Catur adalah pribadi yang sangat ulet dan tekun, dengan ide-ide yang ditelurkannya terkait lingkungan, pendidikan. Sekaligus lahan investasi bagi orang luar benar-benar out of the box.

“Dengan adanya Griya Ekologi Kelir juga manfaatnya cukup dirasa, salah satunya masyarakat sekitar juga kecipratan dapat rezeki saat ada kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan dan selalu melibatkan orang-orang sekitar,” ucap perempuan 27 tahun itu.

Beberapa tamu yang berdatangan di GEK membutuhkan tempat untuk beribadah  sholat, akhirnya  disediakannya. Romo mengaku terbentuk seperti sekarang adalah tidak terlepas dari lingkungan yang membentuk, pendidikan, dan masyarakat tempatnya tinggal. 

Nilai-nilai baik yang ada harus terus dirawat dan dilestarikan. Ajaran perintah kasih kepada sesama manusia tanpa membeda-bedakan, bahkan kepada orang yang membenci atau memusuhi. 

Hal itu dibenarkan oleh Martina yang pada waktu itu pernah mengalami sakit saat masih Sekolah Menengah Pertama (SMP). Romo menyarankan dan membantunya  untuk mengambil sejumput garam yang ada di telapak tangannya. 

“Pengalaman pribadi dulu saat sakit disuruh mengambil sejumput garam di tangan romo. Selalu ingat karena pertama kali ketemu, orang sakit kok diberi garam sih harusnya kan minum air ya?” katanya sembari senyum-senyum.

Banyak orang tahu romo suka bercocok tanam, namun sedikit yang mengerti romo juga suka dengan dunia baca. Tidak berhenti disitu, menulis puisi juga sangat digemarinya. Begitulah penjelasan martina kepada penulis. 

Pengaruh romo bagi Martina memang sangat terasa, khususnya saat masih kuliah dulu. Ia merupakan salah satu murid muslimah yang dibiayai kuliahnya oleh romo catur saat sarjana.  Martina juga mengatakan dirinya tidak pernah takut kepada orang yang tidak seiman dengannya. 

“Kata bapak saya, selama orang-orang di luar sana takut sama Allah berarti kita semua saudara”.

Romo telah menunjukkan bahwa intoleransi, gejala-gejala itu memang ada tetapi secara umum kalau dilihat, daerahnya masih tergolong bagus. 

“Kalau kita berfokus pada ketakutan dan kecemasan, malah nanti kita tidak bisa berbuat apa-apa,” tutupnya.

***

Tulisan ini bagian dari program Workshop Pers Mahasiswa yang digelar Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) kerja sama dengan Friedrich-Naumann-Stiftung für die Freiheit (FNF) dan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.



Posting Komentar

Posting Komentar