mJHEzxukdj31fhzMIHmiGai4Yfakiv2Yjgl83GlR
Bookmark

Presentasi PENA di Sukowati


PENA merupakan acara tahunan Teater Giri yang lazimnya disebut sebagai penerimaan anggota baru dan puncak dari acara adalah pementasan.
oleh: Tadzkirotul Ulla
Suatu sore, 14 Oktober 2017, setelah melewati persiapan sebulan lebih lamanya, PENA Teater Giri terlaksana juga. Seluruh calon anggota baru Teater Giri, yang telah mendaftar dan hadir, duduk melingkar di aula IAI Sunan Giri. Pengurus Teater Giri, Presiden BEM, dan beberapa mahasiswa lainnya duduk bersila bersama mereka. Diskusi-diskusi kecil pun terjadi.

Usai makan malam dan sholat Isya’, para calon anggota baru kembali duduk bersama. Mereka mendapat materi vocal dan olah suara dari Via, anggota lama. Suasana dingin malam sama sekali tak menyurutkan semangat mereka, justru kehangatan yang tercipta. Materi berjalan selama lebih kurang dua jam.

Pada malam itu, untuk kali pertama mereka belajar blocking panggung. Materi-materi harus diserap dengan baik agar mereka dapat melakukan pementasan dengan maksimal di malam berikutnya. Waktu terasa berlangsung begitu cepat, tak banyak kecanggungan disana. Semua antusias. Namun, seberapapun mereka menikmatinya, waktu tetap mengantarkan mereka pada jam-jam istirahat. Semua harus tidur. Lampu-lampu dimatikan. Gelap. Suasana gelap memang membantu kondisi biologis seseorang agar segera terlelap.

Sesaat, dalam keadaan gelap itu, beberapa pengurus Teater Giri tiba-tiba berpentas di aula kampus, tempat dimana awal kegiatan sampai tempat untuk istirahat calon anggota. Sontak, mereka yang mulai memejamkan mata dan beberapa telah memasuki alam tidurnya terbangun oleh ulah panitia. Suasana pecah.

Paginya, semua membereskan keperluan masing-masing dan barang-barang yang ada di aula. Mereka bergegas pindah menuju Sukowati, kecamatan Kapas, Bojonegoro. Kesibukan-kesibukan mereka akan berganti disana. Kegiatan-kegiatan akan lebih banyak terpusat di balai desa. Di depannya terdapat beberapa ruang yang biasanya digunakan untuk kegiatan belajar dan bermain anak-anak usia dini. Satu ruang lain digunakan untuk perkumpulan ibu-ibu PKK.

Setibanya di balai desa Sukowati, para calon anggota melakukan pengamatan lapangan. Pagi yang cerah untuk mereka berkeliling menyusuri lorong-lorong desa. Dari satu kerumun warga ke kerumunan yang lain. Mereka mendapat tugas untuk mencatat setiap kegiatan warga yang dijumpai. Kemudian, hasil pengamatan mereka dikumpulkan menjadi satu dalam tiap kelompok. Perlahan, masing-masing kelompok saling merangkai satu kejadian dengan kejadian yang lain untuk menjadi suatu cerita.

Mereka memeras otak untuk temukan alur ciamik daripotongan-potongan kejadian yang telah terekam dalam benak dan catatan pribadi. Salah satu kelompok nampak belum berhasil menyusun suatu alur dan menyelesaikannya. Akhirnya, pengamatan lapangan yang telah mereka kumpulkan harus rela disimpan sendiri. Mereka membuat cerita sendiri menyusuri imajinasi yang terbesit. Pena menari-nari di atas lembar kertas. Finish. Sekira sejam naskah selesai ditulis.

Naskah siap. Kedua kelompok segera berlatih dengan pendampingan dari pengurus. Di area balai desa, di halaman masjid, mereka berlatih di tempat sedapatnya. Sekenanya. Kian antusias mereka, diam-diam kian meluap kebahagiaan dan kebanggan anggota lama yang memanitiai kegiatan dua hari dua malam itu.

Waktu yang tersisa hanya memberi mereka dua kali kesempatan latihan, gladi kotor dan gladi resik. Begitupun panitia, tak banyak waktu yang tersisa untuk mereka. Yang menggemaskan dalam persiapan itu, panitia harus menunggu ibu-ibu PKK arisan sampai sekitar pukul 5 sore. Padahal, mereka butuh segera memasang layar hitam sebagai latar belakang pementasan. Ghofur bersama beberapa panitia akhirnya dengan sigap menata panggung. Ya, setelah ibu-ibu PKK pulang tentunya.

Menit demi menit berlalu, jam berganti, pelataran balai desa Sukowati mulai dipadati pengunjung. Pengunjung yang selanjutnya disebut penonton tidak hanya dari mahasiswa IAI Sunan Giri, namun juga dari beberapa kampus lain di Bojonegoro, pegiat teater, dan warga Sukowati dan sekitarnya. Orangtua, remaja, sampai anak-anak begitu antusias menanti pementasan. Yang mencengangkan, sejak sore, pedagang kaki lima mulai berdatangan menggelar dagangan masing-masing. Kian gelap, suasana kian riuh ramai. Area sekitar balai desa seperti disulap menjadi pasar malam dadakan.

Ketua panitia, Ainun menyebarkan informasi PENA ke grup-grup di WhatsApp. Sampailah informasi itu pada salah satu pedagang kaki lima. Ia meminta izin untuk berdagang dan langsung mengajak pedagang lainnya tatkala mendapat informasi akan digelarnya pementasan Teater Giri di sukowati. Pantas saja. Pedagang-pedagang itu memang memiliki kesolidan dan hal seperti ini.

Memasuki sekira pukul 20.00 WIB, pementasan dibuka. Tak selang berapa lama setelah pembukaan, gerimis-gerimis halus menjatuhi Sukowati. Menciptakan kesan manis dan romantis. Sebelum masuk ke pementasan penonton terlebih dahulu mendengar sepatah dua patah sambutan dari ketua panitia, Presiden BEM, dan Kepala Desa Sukowati sekaligus membuka acara pementasan. Gerimis-gerimia tipis mulai berhenti.

Pementasan dibuka oleh seniman teater Difmime, sebuah komunitas teater khusus untuk penyandang difable. Suatu keharuan ketika menyaksikan anak-anak dengan keterbatasan dalam suatu hal, namun memiliki kelebihan dalam hal lain yang bisa mereka kembangkan. Keharuan untuk mengakui jika mereka tetap punya tempat selayaknya orang normal kebanyakan. Dua anak usia remaja itu menyuguhi penonton dengan pertunjukan berjudul “Berburu”.

Pementasan langsung disambung dengan persembahan dari Ekspresifmime yang hanya satu orang actor namun mampu menyita perhatian penonton. Takim Tok Gito-gito menyuguhkan aksi pantomim dengan judul “Memancing”. Ia merupakan sesosok yang telah banyak membantu mengasah kemampuan kawanan Teater Giri. Bahkan ia juga mengantarkan anak difable binaanya sampai menjuarai di tingkat nasional.

Akhirnya sampailah pada giliran calon anggota yang telah mempersiapkan pementasan sedari siang. Kedua kelompok ini, kata Ainun, awalnya masing-masing berjumlah 7 dan 8 mahasiswa. Namun sebab beberapa kendala, ada yang tidak mengikuti hingga pementasan, lainnya sebab hal-hal lain yang tak bisa ditinggalkan, akhirnya tersisa masing-masing 5 anggota. Tak ada konsekuensi yang berarti bagi mereka yang tak mengikuti PENA, baik sejak awal atau ketika pertengahan rangkaian kegiatan. Mereka tetap dapat berproses bersama teman lainnya di Teater Giri. Kegigihan niatlah yang membuat mereka bertahan hingga ke PENA selanjutnya.



Ainun pun mengakui jika PENA tahun ini lebih baik disbanding tahun sebelumnya. Paduan dari peserta yang antusias dengan panitia yang tangkas menyelesaikan tugas. Kemudian, Ia berharap, dengan bertambahnya anggota Teater Giri ini nantinya akan semakin mempermudah dan memperlancar kegiatan mereka bersama ke depan. Sebab, adalah suatu kerja yang terlampau keras jika panitia harus merangkap sebagai actor dalam pertunjukan.

Gerimis-gerimis kecil kembali turun, reda sesaat, menciumi tanah lagi, berhenti lagi. Gerimis-gerimis itu seolah turut bercanda dan ingin ikut tertawa atas kelucuan yang dimunculkan aktor-aktris ketika beraksi. Sebagian penonton memilih bertepi. Meneduh. Namun ada pula yang terburu-buru pulang. Pementasan tetap berjalan.

Pungkas dari pementasaan disajikan oleh panitia sendiri. Sejumlah 6 orang panitia menyajikan alur cerita berjudul “Rajekwesi”. Rajekwesi merupakan kisah yang menceritakan asal usul nama Bojonegoro, sebuah kabupaten di manahari ini perguruan tinggi IAI Sunan Giri berdiri kokoh. Kemudian, nama Rajekwesi sendiri banyak digunakan menjadi nama jalan, lembaga pendidikan, terminal, taman, dan lainnya.

Sekitar pukul 21.37 WIB, pementasan rampung. Acara ditutup dengan pembacaan ikrar Teater Giri oleh Impong, ketua Teater Giri tahun lalu. Ikrar yang dibacakannya diikuti oleh 10 panitia atau anggota lama atau yang setelah ini resmi menjadi Pengurus dan 13 calon anggota baru. Sah. Kesemua calon anggota baru pada Minggu malam, 15 Oktober 2017 sah menjadi anggota Teater Giri.




Diskusi evaluasi dibuka, semua yang masih tinggal sampai malam itu duduk beralaskan karpet hijau polos membentuk formasi melingkar. Pengurus dan alumni ingin mendengar komentar, kesan, dan pesan dari penonton yang datang, pegiat teater lain, juga unek-unek dari anggota baru sendiri. Diskusi berlangsung kurang dari satu jam. Usai diskusi ditutup, hidangan makan malam dihadirkan ditengah-tengah mereka. Nasi liwet, sambel, ayam goreng, lele goreng, dan lengkap dengan lalapan.
Posting Komentar

Posting Komentar