mJHEzxukdj31fhzMIHmiGai4Yfakiv2Yjgl83GlR
Bookmark

ROBI’AH, CINTAILAH AKU

Oleh: Siti Lailatus Sa'adah

“Kehormatan bagiku hari ini, siang ini aku di kunjungi Robi’ah di sini, di Surabaya ini ia bersihkan noda dan kotoran di batin Robi’ah yang berpakaian sederhana, Robi’ah yang berkerudung sederhana, Robi’ah yang rendah hati, Robi’ah yang bergerak dengan Tuhannya, Robiah, Robi’ah, oh Robi’ah Terimakasih atas kunjunganmu siang ini.”



Mukhlis lalu menghela nafas, panjang, dan dalam sekali, kemudian ia lepaskan perlahan. Pandangannya menerawang, ia teringat saat-saat indah bersama Kiai Fikri. Ia bersama Aldi, saudaranya yang lebih tua, kerap diajak Kiai Fikri untuk bepergian, terutama ke luar kota. Apalagi kalau bukan untuk mengisi acara, seperti pengajian umum, Work Shop, Seminar, Pelatian Jurnalistik, dan sebagainya. Sebab Kiainya itu, memang dikenal sebagai pemikir yang serba bisa. Apalagi dalam masalah seni, terutama sastra, kepada Kiainya itulah ia banyak berguru.


Puisi berjudul Kunjungan Robi’ah itu, adalah salah satu puisi karya Kiai Fikri, gurunya yang sangat ia senangi, lantaran ia memiliki pengalaman tak terlupakan berkenaan dengan puisi itu.


Ia teringat, bagaimana awal mula pertemuannya denga perempuan yang kurang lebih berusia 45 tahun, yang ia anggap saat itu, hanyalah perempuan kurang waras yang biasa mondar-mandir di kampus Sunan Giri, Bojonegoro itu.


Saat itu ia tengah berjalan bersama Aldi, sambil membawa kardus dua tumpuk yang ia tenteng berdua. Persis saat berjalan di samping utara masjid agung kampus, ia berpapasan dengan perempuan yang ia pandang kurang waras itu. Dan ia sangat kaget ketika perempuan itu bertanyadengan cuek sambil menunjuk kardus yang ia bawa.

“Itu isinya apa?”

“Bom!” ia pun menjawab dengan cuek pula.

“Semoga laris dan dapat rezeki yang banyak,” ucap perempuan itu.

Nyaris ia tak percaya dengan pendengarannya. Ya, perempuan yang bertanya dan ia jawab dengan seenaknya, bahkan dengan berbohong pula, ternyata malah menanggapi dengan baik, bahkan mendo’akan. Tapi, ah, sudahlah, mungkin ia hanya bicara seenaknya, ucapannya dalam batin.

Esok hari, tatkala Kiai pengasuh pesantrennya yang masih muda itu, yakni Kiai Fikri, tengah mempresentasikan buku antologi puisinya, tiba-tiba gurunya itu bangkit dan membacakan puisi yang belum pernah ia dengar, yaitu puisi Kunjungan Robi’ah itu.

Ia pensaran, siapakah yang di maksud dengan Robi’ah dalam puisi karya gurunya tersebut. Namun tidak seperti biasanya, saat membaca puisi itu, Kiai Fikri begitu total, seperti orang yang berhadapan langsung dengan subyek yang menjadi fokus puisinya. Dan ia memang melihat ekspresi gurunya itu, betapa Kiai Fikri saat membaca puisinya, pandangannya seperti terfokus memperhatikan seseorang. Dan seseorang itu tiada lain, ah, masa iya, perempuan kurang waras yang bertemu kemarin.

Bahkan, bukan hanya itu saja, gurunya tatkala membacakan puisi tersebut, berteriak, girang, namun juga seperti menangis tertahan-tahan. Ada apakah gerangan. Dan jawabnya baru ia ketahui setelah acara louncing antologi puisi itu usai.

“Maaf,kiai,siapakah yang kiai maksud dengan Robi’ah dalam puisi panjenengan tadi?”tanyanya penuh tawaduk namun juga sangat penasaran.

“Lha itu orangnya,”jawab kiai Fikri sambil menunjuk perempuan yang sedari tadi begitu cuek memunguti sampah-sampah bekas kotak makanan yang menjadi snack para peserta louncing antologi puisi karya kiai Fikri.

Mata muhlis membelalak, nyaris ia tidak percaya.”Maksudnya perempuan berbaju merah itu, kiai?”

Kiai fikri mengangguk pelan, sambil tersenyum.”Memang ada apa dengan sampean?”

“Menurut kiai, siapakah perempuan itu?”

“Ya ,seperti kakek tua yang kita temukan di sumenep kemarin itu, insya’allah ia orangnya Allah.’’

“Masya’allah,” Mukhlis nyaris histeris, namun di kuat-kuatkanya hatinya, tapi luput, air matanya jatuh perlahan menggelinding.

“Memang, kenapa?’’tanya kiai Fikri terkejut memperhatikan expresi aneh santrinya itu.

“Kami kemarin telah bertemu dengan perempuan itu, dan saya menggapnya orang kurang waras. Maaf, kiai, ternyata saya masih buta dan belum juga mengerti apa yang telah kiai ajarkan selama ini.”

“Apa sebenarnya yang terjadi?”

“Perempuan itu kemarin tatkala berpapasan dengan kami, menanyakan kardus dua tumpuk yang saya bawa dengan Aldi, lalu saya jawab dengan cuek, dan tentu saja bohong, bahwa kardus yang saya bawa berisi bom.”

“Masya Allah…” ucap Kiai Fikri lirih.

“Tapi anehnya, perempuan itu justru mendo’akan begini: Semoga laris dan dapat rizki yang banyak.”

“Nah, Sampean sekarang sudah mengerti?”

“Iya, Kiai. Lalu apa yang harus saya lakukan?”

“Datangilah beliau, mintalah maaf, bersedekahlah, lalu mintalah do’a.”

Ya, sampai kini pun kejadian itu masih lekat terus teringat, terutama saat malam-malam menjelang tidur seperti itu. Ia teringat, saat ia meminta maaf, lalu bersedekah kepada perempuan itu, perempuan itu tidak mengucapkan terimakasih
-salah satu perilaku khas Orang-orang Allah- namun tatkala ia memohon dido’akan, perempuan itu mengangguk-angguk sambil berkata: Iya, saya do’akan.

Ia masih teringat perempuan misterius itu, perempuan yang dipanggil oleh Kiai Fikri sebagai Robi’ah.

Perlahan Mukhlis pun membuka lembaran kedua dari puisi karya Kiai Fikri, berjudul Robi’ah Cintailah Aku, masih tentang perempuan itu, Orangnya Allah itu.

“Robi’ah, berbaju merah, berkerudung hijau, engkau memandang-mandang, engkau tersenyum-senyum, dan engkau tetap istiqamah dengan cintamu, dangan Tuhanmu, Robi’ah, oh cintailah aku.

0

Posting Komentar