Sudah pernah dengar nama Soe Hok Gie?
Di tengah badai buruknya sistem Indonesia saat ini, penulis langsung teringat pada sosok Gie. Mahasiswa aktivis tahun 1960-an. Jika Gie masih ada, mungkin dia adalah orang yang paling keras bersuara, mengecam untran-untran kawannya yang duduk di 'atas' sana, yang pernah ia katakan sebagai sosok yang cerdas namun 'naif'.
![]() |
Soe Hok Gie |
Soe Hok Gie, mahasiswa aktivis yang tak hanya cerdas, namun sangat kritis dan berani. Gie bukan manusia yang gila hormat dan jabatan –meski ada kesempatan– seperti kawan sebayanya kala itu. Bukan pula seorang penjilat. Integritas dirinya begitu kuat dan mahal. Apa yang tak tepat menurutnya ia suarakan, mewakili rakyat kecil yang tak punya kesempatan. Gie bukan sosok yang hanya manut pada sistem yang ada atau pada siapapun yang memiliki kedudukan lebih tinggi di atasnya. Apalagi mudah disetir atau takut berpendapat hanya atas dasar sungkan dan alasan 'menghormati', Gie sama sekali tak seperti itu.
Gie juga bukan sosok yang menggerutu di belakang saat tak sependapat dengan sebuah aturan. Gie sosok yang berani menyuarakan kritikan tanpa takut diklaim sebagai pemberontak dan pembangkang, meski kritik –hingga hari ini– selalu dinilai sebagai kebencian dan pemberontakan, Gie tidak pernah takut. Baginya, semua orang berhak menyuarakan keresahan dan menyampaikan pemikiran, entah melalui pergerakan, kritik langsung maupun melalui tulisan. Gie adalah contoh manusia yang nyata. Dalam dirinya ada rasa kemanusiaan yang sesungguhnya.
Berbeda dengan kalian, bukan? Yang hobinya sambat dan menggerutu di belakang.
Dulu, mahasiswa dikenal sebagai garda terdepan dalam perubahan sosial. Mereka turun ke jalan, menyuarakan ketidakadilan, dan tanpa gentar menantang kekuasaan yang semena-mena. Jiwa kritis dan idealisme mereka menjadi simbol perlawanan terhadap ketidakadilan. Namun kini, semangat itu kian memudar. Mahasiswa hari ini, meskipun lebih cerdas secara teknologi dan akses informasi, justru terlihat lebih pasif dalam merespons persoalan; persoalan dalam dirinya, persoalan yang dekat dengan dirinya, persoalan bangsa dan sejenisnya.
Bukan berarti generasi sekarang tak peduli. Sama sekali bukan. Namun, keberanian untuk bersuara lantang tampaknya telah terkikis oleh kenyamanan, tekanan akademik, dan budaya pragmatis yang merajalela. Banyak yang lebih memilih 'aman', takut dicap radikal, atau khawatir masa depan kariernya terancam. Ini juga bukan memojokkan mahasiswa, tapi ajakan untuk merenung.
Dunia boleh berubah, namun seharusnya semangat kritis tak boleh padam. Mahasiswa tetap punya tanggung jawab moral untuk menjadi suara rakyat atau minimal menyuarakan keresahan dalam hatinya sendiri, bukan sekadar penonton perubahan. Keberanian tak selalu harus dengan demonstrasi kok, tetapi harus hadir dalam sikap. Seperti berani berpikir berbeda, berani menyampaikan pendapat, dan berani memperjuangkan nilai-nilai keadilan, walau dalam bentuk yang baru.
Setidaknya mulailah pupuk keberanian dalam diri, bersuaralah atas apa saja yang kalian resahkan meski sekadar di ruang lingkup kalian. Di kelas, di kampus, di organisasi, di manapun kalian berada. Bersuaralah, meski kritik seringkali dianggap sebagai kebencian dan pemberontakan.
Jangan senioritas kalian keluhkan, lantas tanpa sadar juga kalian suburkan. Jangan hanya sistem yang kalian ratapi, sedangkan untuk bersuara kalian tak punya nyali. Lalu bagaimana?
*Mahasiswi BSA
Posting Komentar