Oleh: Tadzkirotul Ulla
Arusgiri.com— Halaman kampus IAI
Sunan Giri nampak sepi dan lengang setelah semalam (22/05) dipadati penonton
pementasan Hanoman Obong, sebuah pertunjukan tanpa kata. Sisa properti telah
diberesi, yang terlihat hanya beberapa kendaraan roda dua. Tak terdengar lagi
riuh tepuk tangan dan gelak tawa sebab tingkah para pemain.
Pementasan yang digelar merupakan
puncak dari acara ambal warsa Teater Giri ke-tujuh dan dies natalis Himaprodi
PGMI ke-tiga yang sebelumnya dimeriahkan dengan perlombaan festival musik
barang bekas. Teater Giri sendiri dalam pementasan terbesar yang pernah diadakan,
kata Kokom ketua panitia, ini menggandeng himaprodi PGMI. Sehingga tekanannya
jelas, peserta yang terlibat dalam perlombaan datang dari sekolah dasar dan madrasah
ibtidaiyah di wilayah Bojonegoro.
Abu Syukur ketua Himaprodi PGMI
menyambut ajakan kerjasama Teater Giri. Selain untuk mempromosikan PGMI ke
sekolah dasar sederajat, kesempatan ini Syukur jadikan ajang belajar
berorganisasi bersama anggotanya melalui adanya kerjasama. Dari mahasiswa PGMI
pun “banyak yang sudah mengajar,” ucapnya. Sehingga hal ini dianggap kokom
memberi peluang untuk mereka.
Sekitar 120 orang
bergerombo-gerombol menyaksikan pementasan. Mereka bukan hanya mahasiswa IAI
Sunan Giri, melainkan juga siswa-siswi sekolah menengah atas sederajat yang
memiliki ketertarikan dengan seni teater. Tak hanya dari dalam kota, penonton
juga datang dari kota tetangga seperti Gresik, Lamongan, Tuban, dan bahkan
Semarang. Menariknya, salah satu rombongan dari komunitas Mime Pause, Gresik turut
memeriahkan ambal warsa Teater Giri ini dengan persembahan pantomim berjudul
Pematung, sebagai pra pementasan Hanoman Obong.
Semua penerangan kampus
dipadamkan. Di bawah sebaran gemintang dalam gelap langit malam, penonton
disuguhi kisah Hanoman yang diutus Rama, Raja Astina, untuk merebut istrinya,
Shinta, yang diculik Dasamuka si Raja Alengka. Denga keloyalannya pada Rama,
Hanoman pun melaksanakan tugas yang diembankan sebagai bentuk dharma. Hanoman
disini diperankan oleh Takim Kok Gito Gito dan merangkap sebagai sutradara. Dia
juga yang menuliskan naskahnya.
dok. zakia |
Latar belakang dikemas serba
hitam. Pementasan berdurasi satu setengah jam itu melibatkan lima anggota
teater giri sebagai pemain, enam mahasiswi PGMI menampilkan kebolehanya menari
yang menyatu dengan alur cerita, tujuh siswa MTs Ma’arif NU sebagai pemain
pendukung, dan satu anak lulusan sekolah luar biasa yang tergabung di Deaf Mime
memerankan Dasamuka. Kesemuanya terbalut kostum khas zaman kerajaan dengan
sentuhan tangan Mei Mahmudah, penata kostum dan make up asal desa Pacul.
Kocek yang harus dirogoh untuk
menyukseskan kegiatan ini menyentuh kisaran sepuluh juta. Tentu Kokom berharap agar kedepannya ia dan
kawan seniman Teater Giri dapat menarik minat mahasiswa di ranah seni. Juga di
dalamnya melukis. Mahasiswa asal Senori, Tuban ini juga ingin menunjukkan bahwa
“Teater itu enak, seni itu indah.”
Ungkapnya pada Spektrum di depan ruang Aula lantai 2. Di kampus kita,
kata Kokom, mahasiswa—khususnya laki-laki— cenderung jaim untuk mengikuti
kegiatan UKM Teater.
Stigma negatif yang selama ini
tertempel pada komunitas teater kebanyakan ingin dihapuskan oleh Impong,
panggilan akrab ketua UKM Teater. Karena berada dalam lingkup institusi Ma’arif
NU, menjadikan Teater Giri memilih berbeda. Usaha-usaha untuk meyakinkan hal
demikian telah diupayakan Impong ke berbagai pihak. Baik rektorat, jajaran
dosen, maupun mahasiswa.
Ayu Diana datang dari Unirow
bersama kawan-kawannya. Ia merasakan perbedaan pementasan teater di luar ruang
dan di dalam ruang. Diana yang juga menggeluti dunia teater dalam akuannya
belum pernah melakukan pementasan di luar ruang. Ia puas dengan pementasan yang
ditontonnya bertolak dari kota Tuban.
Dasamuka mengamuk. Tapi ia tak
dapat berkutik. Api mengobar dimana-mana, semua warganya turut hangus menjadi
abu. Alengka telah luluh lantah, sehingga praktis pemandangan ini menjadi
bagian akhir dari cerita pementasan Hanoman Obong. Acara ditutup dengan
diskusi.(tul)
Posting Komentar