mJHEzxukdj31fhzMIHmiGai4Yfakiv2Yjgl83GlR
Bookmark

Republik Sawit: Ketika Citra dan Devisa Lebih Berharga dari Ribuan Nyawa


Ilustrasi by Gemini AI


Arusgiri.com, "Kamerad. Kelak jika kalian nyari pasangan, pilihlah yang cintanya sebesar cinta Prabowo terhadap sawit."

Indonesia hari ini sedang mabuk kepayang oleh sawit. Di bawah visi kedaulatan energi yang diglorifikasi Presiden saat ini, sawit diderajatkan sebagai dewa yang seolah-olah tak boleh dikritik. Namun, begitulah, mereka hanya sudi meneguk manisnya devisa, tapi langsung lepas tangan ketika monokultur tersebut meluluhlantakkan ekosistem hulu.

“Kelapa sawit itu pohon, ada daunnya kan? Para bupati, gubernur, tentara, polisi, jagalah kebun-kebun kelapa sawit kita. Di mana-mana itu aset negara, dan ke depan kita tambah tanam kelapa sawit!”

“Nggak usah takut apa itu katanya, membahayakan, apa itu deforestation. Namanya kelapa sawit ya pohon, ya kan betul? Itu ada daunnya kan?”

Saat kembali mendengar pidato Presiden soal kelapa sawit pada Januari 2025 lalu itu, penulis mendapat ilmu baru bahwa ternyata setiap yang punya daun adalah pohon, termasuk kamu (punya daun telinga) dan rumahmu (punya daun pintu).

Beginilah, Kamerad. Bencana yang terjadi di Sumatera dan Aceh ini sebenarnya bukan bencana alam. Tetapi, akumulasi keputusan politik yang serakah dan kebijakan publik yang buruk.

Kayu-kayu gelondongan yang terbawa arus banjir dan menghancurkan rumah warga di Agam dan Tapanuli adalah saksi autentik bahwa hutan kita telah dijarah tanpa ampun. Dan uniknya pejabat publik justru mengeluarkan pernyataan terlalu sastrawi, sebab memakai majas yang terlalu tinggi: 

"Kayu-kayu itu tercabut alami karena hujan." 

Mungkin nomor yang tertulis di gelondongan kayu itu juga tanda lahir si pohon juga. Sekali lagi, penulis baru tahu bahwa bayangan penulis di masa kecil soal pohon bisa berpindah dan berjalan sendiri masih logis, bukan mistis.

Kamerad, pernyataan absurd tersebut bukan sekadar kebodohan intelektual, ini adalah kebohongan moral yang sistematis demi membentengi industri sawit dari tanggung jawab ekologis.

Memilih Citra Daripada Merespon Usulan Status Bencana

25 hari telah berlalu sejak air bah pertama kali merobek rahim tanah Sumatra dan Aceh. Namun, di koridor kekuasaan yang megah, nyawa rakyat tampaknya tak lebih dari deretan angka yang bisa dinegosiasikan di atas meja birokrasi dan ditukar dengan pundi-pundi oligarki.

Hingga hari ini, Sabtu (20/12), angka kematian telah menembus titik nadir yang memilukan. Melansir data akumulasi dari BNPB, korban kini telah mencapai 1.090 jiwa. Di balik tumpukan mayat yang bertruk-truk dan terus bertambah, otoritas pusat memilih bungkam, lelet, dan seolah sengaja mendiamkan tragedi ini agar tidak meledak menjadi skandal di mata dunia.

Tapi meski begitu, pemerintah harus tetap diapresiasi agar Bang Ferry Irwandi, pahlawan rakyat jelata yang kata mereka sok sibuk ngopeni bencana itu tidak disenggol lagi. Sebab bagaimanapun tenda dari pemerintah di lokasi bencana juga benar-benar nyata dan sudah berdiri. Meski cuma satu.

Ada kebebalan yang terencana dalam keengganan pemerintah menetapkan status Bencana Nasional. Penasaran nggak? Mengapa mereka begitu bebal meski korban sudah tembus 1.090 jiwa? 

Berdasarkan analisis WALHI dan laporan Koran Tempo, penetapan status Bencana Nasional secara otomatis akan membuka pintu bagi peneliti asing. Jadi, pemerintah sangat khawatir jika tim investigasi internasional datang dan membuktikan bahwa tragedi ini bukanlah takdir alam (natural disaster), melainkan bencana buatan manusia (man-made disaster).

Sehingga, mereka lebih memilih membiarkan rakyat menjadi tumbal citra negara daripada membiarkan kebijakan hutan mereka dikuliti oleh peneliti dunia, yang bisa berujung pada embargo internasional terhadap komoditas sawit kebanggaan rezim. Lagi-lagi penulis baru tahu kalau ada makhluk di dunia jenis begini.

Sambil menjaga citra di panggung diplomasi, pemerintah membiarkan warganya merintih dalam senyap. Laporan lapangan dari BBC Indonesia mengungkap fakta pedih bahwa banyak korban di pelosok Tapanuli Selatan dan Aceh Tenggara meninggal dunia bukan karena terjangan air, melainkan karena kelaparan. Akses jalan yang terputus total selama 25 hari membuat bantuan logistik tak kunjung sampai tujuan. 

Kelambanan ini makin menyakitkan ketika di momen darurat masih dibumbui narsisme pejabat. Seperti pernyataan Kepala BNPB, Letjen Suharyanto, yang sempat menyebut situasi ini hanya mencekam di medsos. Hal tersebut adalah bukti yang menunjukkan betapa jauhnya jarak antara hati penguasa dan lambung rakyat yang keroncongan. Pejabat kita, eh pejabat kalian, lebih sibuk dengan gimik memanggul beras demi konten daripada membenahi sistem distribusi yang kolaps. Lebih suka tunjuk-tunjuk nggak jelas sambil memakai rompi anti peluru mahal bertuliskan "DPR RI". 

Tidak puas dengan tumbal seribu nyawa di Sumatra dan Aceh, kini syahwat ekspansi rencananya akan diarahkan ke Papua. Sedangkan Papua merupakan benteng terakhir setelah Sumatera hancur. Rencana pembukaan lahan jutaan hektare untuk sawit dan tebu adalah bukti bahwa rezim ini benar-benar tuna-rungu. Jika di Sumatra pemerintah sanggup melakukan tutup mulut massal terhadap ribuan nisan, maka di Papua mereka sedang menyiapkan liang lahat yang lebih besar demi ambisi devisa yang didewakan. 

Rakyat di Papua ini seperti tebu yang airnya benar-benar diperas, lalu sepahnya masih diinjak hingga luluh lantak. Betapa tidak? Biji tembaga, emas, perak, dikeruk sampai habis, selanjutnya mereka akan dijadikan target tumbal sawit, tapi hidup mereka? Terlalu jauh dari kata sejahtera. Akses pendidikan, jalan, pangan, masih jauh dari kata layak. 

Kamerad, Republik ini sedang mengalami krisis martabat. Rakyat dipimpin oleh otoritas yang lebih takut pada audit peneliti asing daripada tangisan seorang ibu yang kehilangan anaknya, daripada ribuan rakyat yang kehilangan nyawanya. Tragedi ini bukan hanya tentang banjir, ini adalah tentang pengkhianatan negara terhadap konstitusi. Pengkhianatan negara terhadap apa yang mereka sebut sebagai hak asasi.

Rakyat tidak butuh pejabat yang pandai berakting demi konten media sosial. Rakyat butuh penguasa yang memiliki keberanian moral untuk berhenti mendewakan sawit demi kepentingan perut mereka dan mulai memanusiakan manusia. Jangan sampai sejarah mencatat bahwa rakyat mati di antara pekatnya lumpur karena lapar, sementara para pemimpinnya tertidur nyenyak di atas empuknya tumpukan devisa triliunan.

"Tuhan, jika rakyat Indonesia mati, biarlah masuk surga jalur WNI."


Catatan: 

Kamerad adalah bahasa Perancis untuk teman senasib seperjuangan (silakan baca lebih lanjut tentang kata Kamerad).


Penulis: Husnul K. (Mahasiswi BSA Unugiri)

Posting Komentar

Posting Komentar