mJHEzxukdj31fhzMIHmiGai4Yfakiv2Yjgl83GlR
Bookmark

Ebo Noah dan "Kiamat" yang Gagal: Saat Logika Kalah oleh Rasa Takut

Ilustrasi by Gemini AI

Arusgiri.com, Dunia baru saja melewati tanggal yang sempat diklaim sebagai "hari kiamat" oleh seorang pria asal Ghana bernama Ebo Noah. Beberapa bulan sebelum Natal tiba, Ebo Noah muncul dengan balutan karung goni dan meramalkan bahwa bumi akan dilanda banjir besar serta hujan deras yang berlangsung selama bertahun-tahun. Ia kerap berbicara tentang pertobatan, keselamatan, dan sebuah bahtera kayu yang ia klaim dibangun atas perintah Tuhan.

Mengaku sebagai seorang nabi, sosoknya mendadak menjadi pusat perhatian global setelah ramalan kiamat tersebut viral di media sosial. Ia juga meminta donasi dari umat yang disebutnya sebagai "benih iman". Tak sedikit pengikut yang percaya hingga rela menyerahkan tabungan, bahkan sampai menunda kebutuhan hidup demi menyumbang. Namun, ketika orang-orang mulai berebut untuk menaiki bahtera, bencana yang dijanjikan tak kunjung datang.

Situasi kian memanas saat sehari sebelum ramalannya terbukti gagal, Ebo Noah terlihat turun dari sebuah mobil Mercedes-Benz yang tampak baru dan mengkilap. Hal ini memicu tanda tanya besar. Bagaimana seseorang yang mengaku hidup sederhana, justru menaiki mobil mewah. Pertanyaannya sederhana, jika memang dunia akan tenggelam, mengapa ia membeli mobil? Jika donasi digunakan untuk membangun bahtera, dari mana dana untuk mobil mewah tersebut berasal?

Bahkan, beberapa warga setempat mengungkap bahwa bahtera tersebut hanyalah perahu nelayan lama yang tak kunjung selesai dikerjakan. Para pengikut yang kecewa pun mulai bersuara, mengaku bahwa mereka berdonasi demi keselamatan bersama, bukan untuk kepentingan pribadi.

Meskipun ramalannya pada 25 Desember 2025 meleset tanpa ada tanda-tanda bencana, Ebo Noah tidak menunjukkan rasa penyesalan. Ia justru muncul kembali dengan klaim baru bahwa kiamat ditunda karena Tuhan memberinya waktu untuk membangun lebih banyak bahtera. Dalam sebuah video yang telah diterjemahkan ke Bahasa Indonesia, ia berujar:

“Tuhan menyatakan penebusan-Nya. Aku telah berdoa, aku telah berpuasa. Saya telah berdonasi dan saya telah membangun dan melalui doa-doa saya, saya mendapat penglihatan lain dan dalam penglihatan ketika anda melihat jumlah orang yang datang ke seluruh negeri, ke seluruh dunia, masuk ke dalam bahtera. Perluasan bahtera tidak mampu menampung mereka. Tuhan telah memberi kita waktu untuk membangun lebih banyak bahtera. Bahtera itu masih ada.”

Kasus Ebo Noah bukanlah yang pertama, dan kemungkinan besar bukan yang terakhir. Sejarah mencatat deretan peramal yang menjanjikan akhir zaman, namun semuanya berakhir dengan antiklimaks. Masalah utamanya bukan sekadar pada klaim tak berdasar sang tokoh, melainkan pada bagaimana kita mengonsumsi informasi dan menyikapi sebuah ketakutan.

Minimnya Literasi di Tengah Banyaknya Informasi 

Di era digital, kecepatan informasi sering kali mengalahkan akurasi. Narasi Ebo Noah menyebar cepat melalui potongan video pendek yang dramatis di media sosial. Seringkali ketakutan adalah komoditas yang paling cepat laku. Ketika sebuah pesan menyentuh emosi terdalam manusia yaitu rasa takut akan kematian dan ketidaktahuan, maka logika sering kali dikesampingkan. Kondisi ini diperparah oleh algoritma yang lebih memprioritaskan keterlibatan emosional daripada validitas data. Bukan lagi mencari kebenaran, melainkan mencari pembenaran atas rasa cemas yang di rasakan. Tanpa adanya literasi yang kuat, maka hanya akan menjadi penonton pasif dalam drama misinformasi yang terus berulang.

Bisnis Ketakutan dan Manipulasi Harapan 

Jika kita melihat kasus tersebut terlihat bahwa ada "bisnis" di balik ketakutan. Popularitas instan, kekayaan, hingga pengaruh kekuasaan sering kali menjadi keuntungan bagi mereka yang melontarkan sebuah ramalan. Bagi para pengikutnya, percaya pada ramalan kiamat sering kali dianggap sebagai bentuk "iman" atau "persiapan diri". Padahal, ada batas tipis antara kesalehan spiritual dan kepatuhan buta pada figur manusia yang mengaku mengetahui rahasia Tuhan.

Dampak Nyata di Balik Prediksi Palsu 

Dalam pengaruhnya, Kita tidak bisa menganggap remeh ramalan yang meleset ini. Di balik itu semua, mungkin ada orang yang berhenti bekerja, menguras tabungannya, atau mengalami trauma psikologis karena menunggu sesuatu yang tidak pernah datang. Kepanikan massa yang dipicu oleh Ebo Noah adalah bukti nyata bahwa disinformasi memiliki konsekuensi fisik dan mental yang serius.

Pentingnya Ilmu untuk berpikir logis

Sering kali manusia menganggap bahwa pengalaman adalah guru terbaik dan ilmu yang paling utama. Namun, ada fondasi yang jauh lebih krusial, yaitu kemampuan untuk berpikir secara kritis, logis, dan rasional dalam menyikapi setiap keadaan. Pengalaman tanpa nalar yang sehat hanyalah kumpulan kejadian tanpa makna. Sementara dengan ilmu berpikir, kita mampu membedah situasi, menyaring informasi, dan mengambil keputusan yang bijak di tengah ketidakpastian.

Kesimpulannya adalah gagalnya ramalan Ebo Noah seharusnya menjadi momentum bagi kita untuk melakukan refleksi kolektif. Iman dan spiritualitas seharusnya membawa ketenangan, bukan kecemasan yang melumpuhkan. Di masa depan, filter terbaik kita terhadap "peramal kiamat" berikutnya bukanlah teknologi, melainkan nalar yang sehat dan literasi yang kuat. Dunia memang akan berakhir suatu saat nanti, namun kiamat yang dipicu oleh matinya akal sehat jauh lebih berbahaya bagi kemanusiaan daripada tanggal mana pun yang ditunjuk oleh Ebo Noah.


Penulis: Eka Pradana Kusuma (Mahasiswa HES Unugiri)

0

Posting Komentar