mJHEzxukdj31fhzMIHmiGai4Yfakiv2Yjgl83GlR
Bookmark

Melek Digital Itu Penting, Tapi Melek Etika Digital Lebih Penting

Kita hidup di zaman di mana setiap orang dapat menjadi penyebar informasi hanya dengan satu sentuhan layar. Dunia digital memberi ruang bagi siapa pun untuk bersuara, berbagi, dan berinteraksi. Namun di tengah arus informasi yang deras dan tak terbendung, kita menghadapi tantangan yang lebih serius daripada sekadar "kecakapan digital", yaitu rendahnya kesadaran akan etika digital.

Melek digital selama ini sering dimaknai sebatas kemampuan menggunakan perangkat teknologi, menjelajahi internet, atau membuat konten. Banyak yang menganggap bahwa asal bisa upload, scroll, dan share berarti sudah “melek digital”. Padahal, kemampuan teknis tersebut hanyalah sebagian kecil dari literasi digital yang sesungguhnya. Yang jauh lebih krusial adalah bagaimana kita menyikapi informasi, memperlakukan orang lain di ruang digital, dan bertanggung jawab atas jejak digital yang kita tinggalkan.

Ilustrasi dibuat di Canva 
Fenomena hoax, cyberbullying, doxing, ujaran kebencian, dan polarisasi di media sosial tidak muncul dari ketiadaan. Ia muncul dari kultur digital yang minim kesadaran etis. Banyak orang merasa ruang maya adalah ruang bebas tanpa batas. Di sana, orang bisa menyampaikan apapun, tanpa memikirkan akibatnya. Padahal, satu komentar sarkastik bisa menyakiti. Satu unggahan yang keliru bisa memicu kepanikan atau bahkan kekerasan. Dunia maya bukanlah dunia yang tidak nyata—ia punya konsekuensi sosial yang sama seriusnya.

Melek etika digital artinya mampu memilah apa yang pantas untuk dikatakan dan disebarkan, serta sadar bahwa setiap tindakan digital punya dampak. Ini bukan tentang membatasi kebebasan berekspresi, tetapi tentang menyeimbangkannya dengan tanggung jawab moral. Kita perlu membangun budaya berpikir kritis sebelum membagikan, bertanya sebelum mempercayai, dan diam sebelum menyakiti.

Tugas ini tidak hanya ada di tangan individu, tetapi juga lembaga pendidikan, keluarga, komunitas, dan bahkan negara. Pendidikan literasi digital di sekolah dan kampus tidak cukup jika hanya mengajarkan cara menggunakan perangkat atau platform. Yang lebih penting adalah membentuk karakter digital—menumbuhkan empati, menghormati perbedaan, dan mengedepankan integritas dalam setiap interaksi daring.

Kita juga perlu merefleksikan diri: apakah selama ini kita ikut menyebarkan informasi tanpa memverifikasi? Apakah kita pernah menanggapi orang dengan kata-kata yang kasar hanya karena mereka berbeda pandangan? Apakah kita pernah bersembunyi di balik akun anonim untuk melempar kritik tanpa etika?

Di era digital, suara kita punya kekuatan lebih besar dari sebelumnya. Maka penting untuk memastikan bahwa kekuatan itu digunakan untuk hal-hal yang membangun, bukan menghancurkan. Kita tidak butuh lebih banyak orang yang sekadar pandai menggunakan teknologi. Kita butuh lebih banyak orang yang bijak dalam memakainya.

Karena pada akhirnya, dunia digital yang sehat bukan hanya soal teknologi canggih, tetapi tentang manusia yang punya hati, empati, dan akal sehat dalam berinteraksi.

*Windawati Laily

0

Posting Komentar