![]() |
| Ilustrasi: Tim Redaksi |
Arusgiri.com, Kampus seringkali disebut sebagai miniatur negara karena banyak kesamaan antara keduanya. Sebagaimana negara, kampus juga memiliki masyarakat, seperti dosen, mahasiswa dan staff. Dalam upaya mengakomodir hak-hak mahasiswa yang notabene sebagai hierarki yang paling bawah dalam sebuah universitas, maka dibentuklah Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) sebagai jembatan penghubung antara mahasiswa dan lembaga. BEM ini berisi Presiden, Wakil Presiden, Sekretaris Jendral, dan menteri-menteri layaknya dalam sebuah negara.
Namun, belakangan ini muncul 'kasak-kusuk' terkait BEM KM Unugiri Periode 2024-2025, yang statusnya pun belum dilantik hingga saat ini. Dalam akun Instagram BEM KM Unugiri tersebut tiba-tiba muncul dengan wajah barunya. Wajah baru ini berupa perubahan logo BEM KM Unugiri beserta nama kabinetnya. Sekilas, jika dipikir tak ada yang salah dengan sebuah perubahan. Namun, siapa sangka jika hal itu ternyata memicu polemik dari beberapa kalangan mahasiswa?
Lantas apa pemicunya? Mari kita bahas.
Pertama, terkait logo. Logo yang tiba-tiba muncul itu terdiri dari sebuah bunga teratai dengan gradasi warna kuning, di atasnya ada dua buah daun melingkar membentuk seperti bola. Gambar tersebut memiliki background warna hitam dan di bawahnya terdapat tulisan berbentuk font aksara Jawa yang berbunyi, "Memayu Hayuning Bawana".
Terkait desain, kuning sebagai warna terpilih sangat tidak fleksibel. Padahal dalam dunia desain, sebuah warna menjadi hal penting dan tidak boleh sembarang pilih. Cara mengetahui fleksibel atau tidaknya sebuah warna cukup mudah. Ganti saja backgroundnya menjadi putih, nanti akan tampak fleksibel atau tidaknya. Gradasi dalam warna logo tersebut juga sangat tidak relevan dengan perkembangan desain saat ini, mengingat perkembangan desain hari ini yang semakin simpel. Padahal seharusnya dalam memilih warna sebuah logo harus benar-benar warna murni tanpa gradasi, sebab warna sebuah logo adalah penguat identitas. Ah, hal ini sangat dasar sekali dalam dunia desain.
Pemilihan warna dan gradasi dalam logo itu sudah menunjukkan bahwa pembuat desain sangat asal-asalan. Oh, bukan hanya asal-asalan, aset dalam logo tersebut terpantau hasil 'comotan'. Padahal setiap gambar memiliki hak ciptanya. Bukankah mahasiswa tentunya lebih paham akan hal ini? Padahal banyak sekali aplikasi legal dan menyediakan banyak aset gratisan seperti Canva. Jika tak bisa berkreasi, mending memakai template. Setidaknya lebih terjamin label halalnya alias legal dan tidak dicap mencuri aset.
Lalu terkait font, jumlah maksimal font dalam sebuah logo hanyalah dua jenis. Sedangkan di dalam wajah baru logo BEM tersebut terdapat sebanyak tiga jenis font. Penulis tidak mengerti mengapa hal mendasar tentang desain begitu saja sangat tidak dimengerti. Apakah ini tanda kemerosotan kreatifitas? Atau punahnya generasi pembuat desain?
Selanjutnya, font yang mirip aksara Jawa tersebut juga terkesan Jawa sentris dan berbau rasis, padahal universitas adalah tempat berkumpulnya beragam ras hingga budaya, dan BEM sebagai wadah yang menaunginya
Harusnya, logo dari BEM yang notabene berasal dari kampus Nahdlatul Ulama (NU) lebih bernuansa akademis, islami dan menyiratkan ke-NU-an serta mampu menampilkan hal netral yang menaungi seluruh elemen masyarakat di kampus tanpa mengerucut pada sebuah hal tertentu dan anti rasisme. Sebab, sebagaimana yang sudah dipaparkan di atas, bahwa universitas layaknya negara, dan BEM sebagai pemerintahan yang harus siap menjadi naungan banyak orang dengan berbagai latar belakang.
Kedua, munculnya logo dan nama kabinet BEM KM yang banyak menuai kritikan ini karena dinilai memuat suatu kelompok tertentu dari "pencak silat", mulai dari lambang hingga slogan. Fenomena logo dan slogan yang dibawa ini, diduga sangat berkaitan erat dengan latar belakang presiden mahasiswa terpilih, entah apa tujuannya. BEM juga tidak menyertakan makna filosofis dari hadirnya logo tersebut, misalnya makna dari bunga teratai, daun atau warna logo.
Dari berbagai fakta di atas, hal ini terkesan seperti buru-buru. Entah karena semangat ingin segera melakukan sebuah gebrakan dalam kepemimpinan baru, gabut mengisi kekosongan, personal branding atau bahkan karena penyakit Narcissistic Personality Disorder (NPD) dalam organisasi.
Wajah baru BEM yang kemarin menuai banyak kritik itu muncul dalam waktu sekejap, lantas kini juga hilang tanpa bekas. Semua kembali membisu tanpa tahu. Apapun itu, banyaknya kritik yang diterima dari banyak kalangan menjadi bukti banyaknya elemen yang peduli pada BEM ini. Yang kurang baik diluruskan, yang sudah baik ditingkatkan.
*Kritik tentang desain adalah hasil obrolan penulis dengan alumnus ilustrator desain grafis dari Institut Kesenian Jakarta
Penulis: Tim Redaksi Arusgiri



Posting Komentar