Suara serangga-serangga malam bersahutan, menciptakan harmoni alam di tengah kesunyian malam. Sepi, hanya satu dua orang yang bangun dan pergi ke musala untuk bermunajat kepada Penguasa jagat raya.
Dalam keadaan setengah sadar, kubuka mataku dan bangkit dari pembaringan ini. Kulihat jam dinding yang tertempel di tembok kamar, ternyata sudah jam 04.00 WIB.
“Hooaam.”
Kututup mulutku yang menguap dengan tangan kiri, lalu beranjak menuju kamar mandi dengan langkah gontai.
Basuhan demi basuhan air wudu membuat ikatan setan lepas, aku hampir sadar total. Waktu ngaji pernah ada keterangan bahwa setan itu membuat tiga ikatan pada seseorang yang sedang tidur. Ikatan pertama akan lepas jika orang tersebut bangun dari tidur, ikatan kedua akan lepas saat berwudu dan ikatan ketiga akan lepas ketika salat.
Aku pun tidak mau menyia-nyiakan waktu yang tersisa, aku juga ingin membisikkan doaku dalam rakaat tahajudku. Dan semoga masih mendapati malaikat-malaikat yang ditugaskan Allah untuk menjemput doa orang-orang yang mau menghabiskan sepertiga malam terakhirnya untuk bermunajat.
***
“Cil...Cil... bangun, sudah azan subuh tuh...”
Nama aslinya Hendra tapi entah apa asbabun nuzulnya kemudian biasa dipanggil Ucil, mungkin karena perawakannya yang bisa dibilang minimalis. Meski demikian, Ucil memiliki semangat yang sungguh luar biasa, dia bisa melakukan berbagai hal yang mungkin orang lain yang lebih sempurna darinya pun tidak akan bisa melakukannya.
“Heeh...Bangun...sudah azan subuh.” Kali ini terpaksa aku tarik tangan nya sampai dia dalam keadaan duduk.
"Hoam...iya...iya.” Jawab Ucil setengah sadar dan berdiri meraba-raba tembok untuk membantu jalan nya ke kamar mandi. Selain tubuh Hendra yang mungil, dia juga terlahir sebagai seorang tunanetra, sehingga dia membutuhkan sedikit banyak bantuan orang lain untuk mengenali dan menelusuri sekelilingnya. Namun karena mata batin Ucil yang begitu tajam, kini, setelah empat tahun di sini, Ucil sudah tidak perlu lagi ditemani kalau hanya untuk sekadar ke kamar mandi atau ke tempat lainnya, dia sudah cukup hafal dengan petunjuk hatinya.
Setiap selesai salat subuh, seluruh santri Pondok Pesantren Hidayatul Qur'an nglalar hafalan al-Qur'annya. Ucil sudah khatam tahun kemarin, Ucil terhitung cerdas, dia mampu mengkhatamkan hafalan Qur'an 30 Juz hanya dalam waktu tiga tahun. Padahal dia harus menghafal al-Quran dengan menggunakan tape recorder dan al-Qur'an huruf braille.
****
Pagi ini aku dan Ucil nglalar bersama di bawah pohon jambu depan asrama, bila aku salah dalam membaca ayat Ucil membenarkan, begitu juga sebaliknya. Tidak seperti biasanya, pagi ini Ucil terlihat aneh, wajahnya pucat pasi dan juga batuk-batuk.
"Kamu sakit, Cil?” Tanyaku. “Enggak kok.” Jawabnya. "Tapi wajahmu pucat lho." Sanggahku
“Mungkin cuma kecapean aja Ris, sudahlah.” Bantahnya sambil menutup mulut yang batuk-batuk
“Itu darah apa, Cil? Aku kaget melihat ada bercak darah di telapak tangan Ucil yang ia gunakan untuk menutup mulut.
“Hah mana?” Ucil berbalik Tanya sambil menyembunyikan tangannya di antara kedua kaki dan mengusapkan darahnya ke sarung yang ia pakai. Sebenarnya Ucil juga tahu bahwa yang di tangannya tadi memanglah darah, hanya saja dia tidak ingin aku mengetahuinya.
“Nggak usah bohong! Tadi itu darah apa?”
“Bukan apa-apa! Kamu nggak perlu tahu titik...!” Bentak Ucil lalu bangkit dan pergi meninggalkanku.
Matahari belum sepenuhnya muncul, embun-embun masih setia menempel di pucuk-pucuk daun, udaranya yang begitu segar membuatku memejamkan mata dan coba menarik nafas dalam, untuk dapat merasakan kesegaran aroma pagi.
“Nggak keluar, Ris, mumpung libur?” Tanya Eky yang tak tahu sejak kapan dia sudah berada di sampingku.
“Pastinya donk, tapi nanti, masih jam segini, lebih enak menikmati suasana disini.” Jawabku sambil tertawa.
"Ya sudah kalau gitu, duluan ya, Ris.” Pamitnya dan kubalas dengan anggukan. Satu jam kemudian aku turun dan mencari teman karibku Ucil, tidak biasanya dia menghilang seperti ini. Jika tidak ada di kamar pasti ada di bawah pohon jambu depan asrama tempat kami ngobrol, ngelalar, bercanda tertawa. Namun sudah dua kali aku bolak-balik kamar-pohon jambu tetap tidak menemukan nya.
"Apa sudah pergi” batinku, tapi tidak mungkin Ucil pergi sendirian, kemanapun Ucil pergi dia pasti selalu minta aku temani. Aku memutuskan untuk pergi sendiri, meski dengan jalan kaki. Lokasi Pondok Pesantren Hidayatul Qur'an yang dekat dengan taman kota membuatku tidak perlu jauh-jauh untuk sekedar jalan-jalan, menikmati keindahan bunga-bunga taman yang memanjakan mata. Mengamati setiap pengguna lalu lintas yang terkadang tersenyum sinis melihatku memakai sarung dan peci. Tapi aku tak peduli, aku pun tidak merasa malu, karena aku menutup aurat, rapi, tidak mengganggu mereka, buat apa malu? Orang mereka yang membuka auratnya di muka umum saja tidak malu.
Setelah beberapa lama, aku melihat orang-orang sama berkerumun dengan mimik wajah panik, sepertinya telah terjadi sesuatu, dan aku pun tertarik untuk ikut mendekati kerumunan itu.
Ada seseorang yang tergeletak, itulah yang menyebabkan mereka berkerumun. Lamat-lamat kupandang aku mendekat, semakin dekat, semakin jelas di mataku bahwa itu adalah si Ucil, Hendra.
“Pak apa yang terjadi dengan teman saya? Ini teman saya, bagaimana bisa seperti ini?” Tanyaku penuh cemas kepada siapa saja.
“Tadi adik yang pingsan ini berjalan dengan memegang kepala, sepertinya sangat kesakitan, kemudian langsung pingsan seperti ini.” Jelas salah satu dari kerumunan yang menyaksikan betul bagaimana kronologi awalnya.
"Ya sudah, kita segera bawa ke rumah sakit saja.”
Dengan dibantu beberapa orang, Ucil pun dibawa ke rumah sakit menggunakan mobil angkutan umum. Setelah lima belas menit kami pun sampai di RSUD Dr. R. Sosodoro Djatikusumo yang berada di Jl. Doktor Wahidin Bojonegoro.
Sudah lebih dari satu jam, aku mondar-mandir di ruang tunggu, menunggu dokter yang menangani Ucil keluar dari ruang UGD.
“Bagaimana keadaan teman saya, Dok?”
Aku segera menanyakan kondisi Ucil, begitu Dokter keluar dari ruangan.
“Keadaanya sudah sangat parah, penyakitnya memasuki stadium empat.” Terang Dokter.
“Maksudnya, Dok?”
“Lho, adik tidak tahu kalau penyakit kanker teman adik ini sudah memasuki stadium empat?" Jelasnya.
Demi mendengar ucapan Dokter, aku terpaku, diam membisu, darahku seakan berhenti mengalir, kakiku terasa kaku, tak kuasa bergerak, terbayang sosok yang baik, ceria, tak pernah mengeluh, yang kini terbaring lemah dengan bantuan alat pernapasan. Aku terduduk lesu di ruang tunggu menanti datangnya orang tua Ucil yang sudah aku hubungi tadi. Hampir tak bisa ku percaya dari pengakuan orang tuanya Ucil sendiri bahwa mereka juga tidak tahu mengenai penyakit yang diderita anaknya.
“Cil...Ucil... mengapa kau sembunyikan ini sendirian. Masih banyak orang orang di sekitarmu yang menyayangi dan siap membantumu." Tangis batinku.
***
Hari ini tidak seperti hari biasanya. Tidak ada sinar matahari, hanya mendung bergelayut yang terkadang jatuh darinya butiran-butiran air, bukan hujan namun gerimis kecil.
Kemarin sore, ketika aku hendak pulang dari rumah sakit, kondisi Ucil berangsur membaik dan rencana akan dipindahkan ke ruang rawat biasa besok, tapi pagi ini baru saja aku dengar kabar bahwa Ucil masuk UGD lagi. Aku pun bergegas ke rumah sakit.
Begitu sampai di rumah sakit, aku melihat kedua orang tua Ucil menangis setelah bicara dengan Dokter yang menangani Ucil, lalu segera masuk ke ruang UGD. Aku pun ikut masuk ke ruangan itu.
“Hendra... Hendra...”
Tangis Ibu si Ucil sambil memeluk dan menciumi wajah anaknya yang sudah tidak bernyawa.
Aku tak tahu apa yang harus aku lakukan, aku ingin menenangkan hati kedua orang tua Ucil, tapi hatiku sendiri pun juga tak karuan.
“Ris..Om mohon maafkan kesalahan temanmu ini, semua kesalahan Hendra.” Ayah Hendra sambil memegang pundakku.
“Ucil nggak pernah punya salah sama saya, Om, sama siapapun, walaupun ada salah itu pasti sudah saya maafkan tanpa Om minta.”
“Sejak kamu pulang kemarin sore Hendra sudah tidak bisa bicara, mulutnya hanya merapalkan bacaan potongan ayat-ayat al-Qur'an dalam keadaan koma, tidak sadarkan diri, semoga Hendra husnul khatimah, Ris.” Ayah Hendra tak henti uraikan air mata.
Subhanallah, dalam keadaan koma saja hanya bacaan ayat al-Qur'an yang keluar dari mulut Ucil. Mungkin hujan gerimis yang terjadi adalah tanda dari alam yang ikut menangisi kepergian seorang hamilul Qur'an, seorang yang benar-benar menjaga al-Qur'an dengan hatinya, buat sekadar lisan dan pikirannya.
Sabtu 07 November 2015
Posting Komentar