![]() |
| uleg-uleg |
Pendidikan seharusnya menjadi sebuah ikhtiar untuk membebaskan manusia dari penderitaan, yakni penderitaan dalam hal kebodohan dan ketidaktahuan. Bukan justru menjadi alat untuk memperkosa pikiran manusia satu atas lainnya dengan cara yang tak mengindahkan perikemanusiaan, apalagi kalau nantinya tugas dan kewajiban yang ditanggungkan bakal memberi beban yang tak terkira beratnya. Jika kondisinya seperti ini, bukankah bisa dibilang sebagai suatu hal yang menindas, wahai pembaca yang berpengetahuan lagi budiman? Sebab tak ada imbal-balik pikiran dalam pengambilan putusan.
Sudah 5 semester menjadi mahasiswa di Universitas Nahdlatul Ulama Sunan Giri (UNUGIRI), pada Program Studi (Prodi) Pendidikan Agama Islam (PAI) ini. Masuk pada tahun 2021 dengan spasio-temporal yang bisa dikatakan kurang mengenakkan, yakni pada masa pandemi Covid-19 kemarin. Yang mana berimbas harus melaksanakan perkuliahan tidak maksimal dengan metode daring selama 18 bulan alias sampai semester 3. Kini harus diterpa ujian lagi untuk menjadi tumbal kurikulum pendidikan baru, yaitu Merdeka Belajar.
Di Unugiri, penerapan kurikulum ini baru dilaksanakan pada angkatan 2021 untuk menjadi tikus percobaan. Entah berhasil atau tidak toh itu nantinya adalah urusan mahasiswa sendiri, apakah nantinya akan semakin menunjang proses pembelajaran atau justru sebaliknya, semua masih dalam tahap uji coba. Isu yang digunakan untuk peralihan kurikulum ini pun cukup menarik jika didiskusikan. Selain sebagai bekal mempersiapkan manusia era 5.0, juga untuk menyongsong meletupnya bonus demografi Indonesia pada 2045 mendatang.
Dilain hal, imbas dari pembelajaran Kurikulum Merdeka ini dirasakan oleh beberapa mahasiswa. Katakanlah kelas 5B Program Studi (Prodi) Pendidikan Agama Islam (PAI) sebagai contoh. Baru masuk kurang lebih 2 pertemuan, ada satu mata kuliah dari seorang dosen Program Studi (Prodi) Pendidikan Guru Madrasah Ibtida'iyah (PGMI), yang sedang transfer pembelajaran dikarenakan salah satu dampak dari Kurikulum Merdeka Belajar. Yang mana, dirinya menerapkan metode pembelajaran yang rasa-rasanya sudah usang diterapkan kepada seorang mahasiswa 2023. Manusia masa depan yang 'katanya' akan menemui masa keemasan Indonesia.
Di tengah percepatan informasi dan peralihan segala aspek kehidupan, dari media konvensional ke media digital. Masih relevan kah pembelajaran dengan metode merangkum materi tiap pertemuan 6 lembar kertas tulisan tangan? Apakah hal tersebut akan meningkatkan ketajaman analisis mahasiswa? Ataupun membuat mahasiswa memahami maksud dari materi perkuliahan tersebut baik secara tekstual maupun kontekstual?
Jawabannya menurut saya sama sekali tidak! Justru hal tersebut hanya memperangkap mahasiswa untuk sekadar formalitas melakukan perkuliahan, demi nilai IP yang terstandarisasi oleh dosen pengampu. Tak ada niat untuk benar-benar belajar atau memahami pembelajaran tersebut.
Diperlukan perubahan pola pembelajaran yang efesien, bukan hanya membebani mahasiswa untuk sekadar menulis rangkuman. Malah-malah mahasiswa sebagai manusia yang didesain bukan hanya untuk berfikir namun juga bertindak, rasionalitasnya jadi terasingkan oleh kebiasaan yang menjemukan tadi. Lalu bagaimana langkahnya?
Sebelum menjawab hal tersebut, ada satu pertanyaan yang sedikit menggelitik atau bahkan memekik. Jika setelah tiap orang mahasiswa dibebankan 6 lembar tulisan tangan tadi, apakah dosen akan membaca kesemuannya? Atau sekadar mengoreksi apakah tulisan tersebut sudah sesuai dengan tema yang diharapkan? Monggo dibantu kasih jawaban di kolom komentar.
Untuk langkah-langkah bagaimana pola perubahan pembelajaran atau pemberian tugas, bisa salah satunya ialah melakukan kesepakatan antara dosen dengan mahasiswa. Misalkan untuk tugas yang cocok itu seperti apa dengan output beserta outcome yang jelas sesuai mata perkuliahannya. Bukan kok cuma keputusan sepihak, lalu mahasiswa manut dan dapat nilai A, yang ndak manut disuruh keluar kelas saja. Kelas militer saja tak sekejam itu hehew.
Harapannya tulisan ini bisa menjadi salah satu evaluasi kita bersama untuk lebih meningkatkan mutu pembelajaran yang ada di kampus tercinta kita ini. Untuk bersama-sama mewujudkan UNUGIRI World Class University, Amiiin. Oh iya, sebelumnya terlewat di kepala sebuah tandasan dari Soe Hok Gie,
"Guru (dan dosen) yang tak tahan kritik boleh masuk keranjang sampah. Guru (dan dosen) bukan dewa yang selalu benar, dan murid bukan kerbau". Salam Takzim!
Teks : Satria Rahma Kusuma (Mahasiswa PAI 5B Unugiri)
Editor: Listiowati



Posting Komentar