mJHEzxukdj31fhzMIHmiGai4Yfakiv2Yjgl83GlR
Bookmark

Matematika


 

arusgiri.comLPM Spektrum - Mataku menilisik tiap hurup aljabar di kertas yang sudah dipenuhi angka-angka. Tanganku mulai menuliskan fungsi tujuan untuk menafsirkan nilai optimum yang diperoleh sebagai hasil akhir penyelesaian. Harusnya saat pelajaran matematika, suasana menjadi hening tapi tidak dengan kelasku. Suara bisik-bisik, remasan kertas yang terjatuh dan ketukan meja untuk kode minta contekan terdengar bising di telinga.

Segera aku berpikir untuk merumuskan fungsi kendala. Dilanjut membuat grafik himpunan penyelesaian dari sistem pertidak samaan.

"Ann, hoi, woi," terdengar panggilan berbisik dari arah belakang.

"Apa?" tanyaku lirih, takut Miss Yola yang garangnya paripurna mendengar suaraku.

"Nomor lima." Bibir tipis Ree bergerak tapi tak bersuara. Tangan kanannya merentangkan semua lima jari.

Aku menggelengkan kepala. Bukan belum selesai tapi aku pelit dalam hal memberi contekan. Namun tidak dengan memberi cinta pada siswa genius yang duduk tepat di depanku.

Punggung yang datar itu lebih menawan dari nilai A+ yang selalu kudapat saat pelajaran matematika. Wajahnya lebih datar lagi tanpa ekspreri. Misterius. Lebih misterius dari jawaban matematika saat UKK. Apalagi jika sudah berkutat dengan angka-angka, raut itu akan tampak sangat serius. Tetapi, lebih serius tekadku dalam mencintainya.

Puas memerhatikan punggungnya, aku kembali fokus pada angka-angka. Menghitung nilai f (x.y)=5.000x+7.000y. Dari titik B diperoleh nilai maksimum sebesar 270.000 dicapai pada titik (40,10).

Tinggal membuat jawaban akhir, maka aku bisa istirahat setelah mengumpulkan ulangan harian. Kutulis jawaban agar keuntungan yang diperoleh mencapai maksimal, maka barang A harus diproduksi sebangak 40 buah dan barang B sebanyak 10 buah.

Aku berdiri dengan senyum merekah. Berhasil menyelesaikan dua puluh soal dalam kurun waktu kurang dari satu jam. Baru satu langkah, kudapati siswa berpakaian rapi yang menjadi dambaan hati mendahuluiku mengumpulkan tugas. Ah, aku tahu. Dia bersikap seperti itu karena ingin belajar jadi imam. Lalu aku akan belajar jadi makmu, mengikutinya dari belakang.

Tampak dia berjalan santai menuju tempat semedinya saat istirahat. Perpustakaan. Kuikuti langkah cepatnya dengan kaki yang jenjang dengan sedikit berlari. Maklum, kakiku sangat pendek untuk mengejarnya tapi hasratku sangat tinggi untuk menggapainya.

"Hei, Ann! Mo kemana?" pekik Si Sialan, Ree.

"Aishhh, dasar! Dia tidak tahu apa aku sedang memperjuangkan masa depan?" gerutuku dalam hati.

Aku berhenti. Berbalik. Mendapati Ree yang berlari kecil menghampiriku.

"Mau ke perpustakaan. Kamu duluan aja," ucapku tergesa sambil membalikkan badan berisi itu lalu mendorongnya agar segera pergi.

"Eh, tapi."

"Udah, nanti aku nyusul, daa!" Aku memotong kalimatnya sambil berlari mengejar siswa yang sudah jauh dari pandang.

Di bangku pojokan itu dia sudah fokus dengan buku Bukan Pasar Malam karya Eyang Pramoedya Ananta Toer. Sedang aku duduk tepat di belakangnya. Membaca novel Jo Dan Kas karya Bunda Asma Nadia. 

Jo yang seperti aku, begitu terbuka dan Kas yang seperti Rizal, begitu tertutup. Aku terlalu bar-bar sedang dia terlalu pendiam. Jadi, cocok bukan? Bukan kah cinta saling melengkapi?

Suara teriakan cacing-cacing yang berpuisi di dalam perutku, membuat siswa dengan rambut sibak kanan menoleh seketika. Seketika pula kusunggingkan senyum malu sebab kelaparan.

"Dasar perut nggak tau sikon(situasi dan kondisi)!" rutukku kesal. 

Segera kuletakkan pembatas di halaman seratus sebelas. Menutup buku dan mengembalikan di rak lalu beranjak.

Perutku butuh asumsi seperti diagram yang butuh angka dan data. Selayak hatiku yang butuh Rizal sebagai penghuninya. Biar nggak kosong kayak tong sampah depan kelas. Bukan karena teman-temanku jarang jajan, tapi bungkus-bungkus itu di buang di sorokan meja belajar. Padahal kan mencintai Rizal sebagian dari iman. Eh salah, menjaga kebersihan sebagian dari iman.

"Woy, Ann!" teriak Ree sambil melambaikan tangan. Di sampingnya, ada Diki, kakak kelas yang menjadi pacarnya.

Setelah memesan bakso aku ikut gabung dengan sepasang kekasih bobrok itu. 

"Cacingmu nggak kuat lapar ya," ledek Ree setelah aku duduk di depannya.

"Hooh, kek aku yang nggak kuat nahan rindu sama Si Ri..." Aku segera menutup mulutku rapat-rapat sebelum keblabasan nyebut siswa dingin kek es batu itu.

"Ri? Ri siapa? Rio? Idola cewek-cewek itu? Anak band?" Ree yang somplak itu mengedor-ngedor meja sambil menghujaniku dengan banyak pertanyaan.

"Ngawur! Ngapain suka sama buaya kakap kek Rio," celetukku.

"Lha terus siapa?" tanya Ree penuh ambisi.

"Kepooo. Biarlah rasa ini hanya aku dan Tuhan yang tahu. Seperti jawaban soal-soal matematika. Rahasiaaa," jawabku lalu menyendok sambal untuk semangkok bakso yang baru datang.

"Udahlah, Beb. Tiap orang kan punya privasi. Mending kamu lanjut makan mienya. Nih, aaa'," tutur Diki sambil menyodorkan garpu yang dililit mie ke dalam mulut Ree.

"Tumben kamu bijak," selorohku sambil mengunyah bakso.

"Aku akan selalu bijak untuk pacarku yang comel ini. Nih lagi, aaa'." Diki membuka mulut memberi contoh pada pacar comelnya itu. Comel dari Jeddah kali ya.

"Aaaa, so sweet. Pelukkk," ujar Ree dengan nada centil lalu memeluk pacarnya itu.

"Wekkk!" Aku menjulurkan lidah sambil memutar bola mata melihat kelakuan sinting dua bocah tengil di depanku.

"Ihhh, iri? Bilang, Bos!" sungut Ree.

"Terus aku harus nyaut nyanyi bal bale bale bale baleho bale desa gitu?" tanyaku ketus.

Dua bibir di depanku itu terbahak hingga geligi mereka tampak jelas. Aku kembali menyendok bakso yang bulat-bulat. Sebulat diagram lingkaran dalam pelajaran matematika tapi masih bulat niatku dalam mencintainya.

Segera aku berjalan kembali ke perpustakaan tapi bel masuk kelas sudah berdering kencang. Pelajaran Bahasa Jawa. Ah, jika mengingat pasal Jawa aku teringat nama Rizal.

Rizal Abyasa Birawa yang mempunyai arti lelaki dengan kepandaian yang hebat. Sangat cocok dengan namaku, Annisa Danurdara Adriani yang memiliki arti perempuan kaya ilmu yang kuat. Mungkin sebab itulah aku kuat mencintai dalam diam. Kuat menahan beban rindu yang teramat berat. Kuat berjuang mendapatkan cintanya Rizal.

"Ann," panggil seseorang dari arah belakang saat aku akan pulang.

Suara itu... aku yakin itu Rizal. Sebab aku mengingat semua tentangnya seperti aku yang tak pernah lupa akan rumus-rumus matematika. Tangan kiriku memegang dada, memastikan detak jantungku masih ada. Suara debar jantungku berdentum-dentum.

Kuberanikan diri berbalik. Di depanku berdiri sosok yang selama ini hadir di mimpi.

"Tahan, Ann. Tahan. Jaga harga diri. Jangan pingsan di sini," desisku dalam hati.

"Emm... iya, ada apa?" tanyaku gugup.

"Dipanggil Miss Yola," jawabnya datar lalu berlalu meninggalkanku.

Segera aku berlari kecil. Mencoba menyejajari langkahnya. Tidak seperti biasa yang aku selalu di belakangnya. Dia menengok. Memandangku tanpa ekspresi. Kembali fokus ke depan lagi.

Ah, senangnya bisa berjalan sejajar dengan calon imam. Kami sudah sampai di ruangan Miss Yola. Segera guru yang terkenal garang itu menyampaikan maksudnya.

"Kalian akan diikutkan lomba olimpiade matematika tingkat kabupaten bulan depan. Jadi, sepulang sekolah akan ada bimbel dari saya. Saat weekend kalian bisa belajar kelompok," jelas Miss Yola yang langsung kami balas dengan anggukan.

Bagai mendapat hujan durian, aku senang bukan kepalang. Ini bisa menjadi ajang dalam mendekati hati Rizal. Ah, senangnya. Betapa indah takdir Tuhan.

Dari bimbel yang diadakan Miss Yola, Rizal sudah terbiasa membuka suara. Meski jarang-jarang. Mulai dari menanyakan maksud soal hingga menjelaskam rumus yang aku tanyakan.

Yang paling kusuka adalah hari ini. Sehari sebelum olimpiade dimulai. Di rumah Rizal

"Ini," kata Rizal sambil menyodorkan beberapa permen jahe.

"Untuk apa?" tanyaku heran tapi tetap kuambil permen itu dari tangannya.

"Agar tidak mengantuk," jawabnya datar.

Selalu seperti itu. Tapi aku suka. Di balik dinginnya ada perhatian yang tersimpan. Lelaki dengan kaos pendek warna hitam dan jeans senada itu langsung duduk di lantai sampingku. Tidak ada sekat yang membatas.

Ingin saja kurobohkan tubuhku begitu saja. Agar menghantam tubuh kakunya. Merasai hangat yang tercipta dari kecelakaan yang disengaja. 

"Dasar otak dodol! Mikir apa aku tadi? Astagaaa!" sesalku kemudian, tentu saja dalam hati.

Kupandang wajah teduhnya. Bibirnya bergerak-gerak. Menjelaskan pasal deret aritmatika yang sebenarnya sudah kuhafal di luar kepala. Sesekali mata kami beradu pandang. Kutemukan gambaran diriku yang lucu di manik matanya. Ah, cinta.

"Ini diminum dulu." Segelas susu putih buatannya disodorkan padaku.

Dengan riang gembira seperti mendapat juara pertama aku menerima segelas susu itu. Meneguk perlahan demi menjaga keanggunan, harkat martabat dan keelokan sikap sebagai perempuan. Ya, meski kadang khilaf jadi bar-bar.

Aku jadi teringat kisah Baginda yang minum di bekas bibir Bunda Aisyah. Mataku menatap jauh. Pikiranku berkelana lebih jauh lagi. Dalam hati aku bergeming, "Ah, andai saja... Astaghfirullah hal adzim. Halunya mulai aktif ya, Bun. Hiks."

Sontak aku menepuk jidat dengan keras hingga menimbulkan suara 'plak'.

"Au!" erangku.

"Hei kenapa? Kamu nggak papa?" Tampak raut Rizal yang biasanya datar kini menjadi cemas penuh kekhawatiran.

"Ada nyamuk tadi. Rasanya sakit banget," keluhku.

Tiba-tiba saya dia memegang keningku. Bumi seakan berhenti berputar. Suara jarum jam tak terderngar berdetak. Angka-angka yang kuhitung seperti berhenti di antara kekosongan yang hampa. Aku diserang rasa bahagia.

"Tahan, tahan, tahan, Ann. Jangan pingsan, jangan pingsan." Aku mencoba meredakan gejolak-gejolak yang tengah bergejolak di dada.

"Ann? Kamu nggak papa, kan?" Tangannya dilambai-lambaikan tepat di depan mataku yang terpana.

"Eh, iya, emmm... aku nggak papa, kok," jawabku gugup.

Dia tersenyum. Ya, Tuhan. Dia tersenyum. Astaga, manisnya. Benar-benar manis. Lebih manis dari gula jawa yang dijual Bi Ratna. Senyum paling paripurna. Mengalahkan angka-angka dalam rumus matematika yang kupuja.

"Aku kira berdarah. Hehehe."

Allah Ya Karim. Rizal becanda? Tertawa? Ya Gusti. Ya Rahman. Ya Rahim. Ya Kuddus. Ya Salam. Ya Mukmin. Ya Muhaimin. Ya Aziz. Senyumnya Rizal sangat manis.

Aku tak akan pernah lupa bagaimana cara tertawa Rizal. Bagaimana senyumnya tersungging. Bagaimana merdu suaranya saat menerangkan. Semua akan kuingat. Seperti mengingat angka-angka yang harus ditulis dalam notasi kubik.

Mataku mulai terasa penat. Berkali-kali aku menguap. Padahal baru 10 soal yang kujawab. Otakku berpikir cepat.

"Ah, permen jahe."

Segera kurogoh saku baju. Mengeluarkan lima permen jahe pemberian Rizal tadi pagi sebelum olimpiade dimulai. Kukupas semuanya. Kulahap bersamaan. Biar tidak ngantuk.

Meski genius, otakku sering juga khilaf. Kurasakan pedas tingkat dewa setelah memakan lima permen jahe secara bersama-sama. Harusnya aku berpikir, yang pantas bersama hanya aku dan Rizal. Seperti angka bilangan pembilang dan penyebut. Seperti 'pi' yang selalu dipasangkan dengan jari-jari. Ternyata pedas yang tercipta ampuh juga membuat mataku terus terjaga.

"Gimana? Lancar?" tanya Rizal dengan suara pelan saat sudah keluar dari ruangan.

"Lancar dong. Kamu gimana?" Aku balik bertanya dengan mimik gembira.

"Aku juga lancar," jawabnya sambil tersenyum.

Senyum itu, kembali merekah. Cintaku kian membuncah. Ingin rasanya aku mengatakan dia tidak hanya lancar mengerjakan tapi juga lancar membuatku menaruh perasaan.

Ini adalah sesi yang menurut semua orang paling mendebarkan. Namun tidak denganku. Sebab yang paling mendebarkan adalah saat-saat aku bersama Rizal.

Juara-juara dipanggil satu persatu. Dari juara harapan tiga sampai juara harapan palsu, eh satu maksudnya. Juara tiga disebut atas namaku. Rizal langsung memegang kedua tanganku. Sambil berucap selamat. Lalu memelukku erat. 

Tuhan... boleh kah aku pingsan. Tiba-tiba Miss Yola juga ikut memelukku. Jadilah kami bertiga seperti kawanan teletubbys.

Aku cemas-cemas berdoa. Semoga Rizal menjadi yang ke dua. Syukur-syukur  jadi yang pertama. MC menyebut juara selanjutnya.

"Dan... juara ke dua... diraih oleh... Ammmeee..." MC itu menggantung kalimatnya.

Siapa itu Amme? Tidak peduli. Masih ada juara pertama. Siapa tahu Rizal pemenangnya.

"Juara ke dua... diraih oleh... Rizal Abyasa Birawaaaaa!"

Sekali lagi kami berpelukan sambil loncat-loncat kegirangan. Akhirnya setelah selian purnama aku bertapa, aku bisa merasakan hangat peluk Rizal. Namun ada yang aneh dengan sikap lelaki dari kutub utara itu setelah perimaan piala, piagam dan hadiah lainnya. Dia tampak tergesa dan cemas menuruni anak tangga panggung.

"Mau ke mana?" tanyaku mendesak.

"Menyusul dia," jawab Rizal cepat, secepat dia berjalan.

"Ada apa dengan penyandang juara pertama?" tanyaku lagi, tidak mengerti akan sikap pria satu ini.

"Dia cinta pertamaku sejak SMP."

Kaki yang panjang itu segera berlari meninggalakan aku yang tergugu sendiri. Cinta pertama? Bagai dijatuhkan dari langit ke tujuh, tubuhku luruh. Banyaknya cinta yang kupunya menjadi sia tanpa balasnya. Seperti rumus bilangan berapa pun jika dikalikan nol maka hasilnya akan nol. Tuhan, aku izin pingsan.

Tuban, Senin 8 Februari 2021


Teks: Nisa

Editor: Naufal

Ilustrasi: Pexels.com

Posting Komentar

Posting Komentar