mJHEzxukdj31fhzMIHmiGai4Yfakiv2Yjgl83GlR
Bookmark

Sajadah Untuk Ibu

Hujan baru saja reda pagi itu. Genting-genting masih basah. Ujung jemari dedaunan pun sesekali masih meneteskan air sisa hujan. Sisa air hujan juga menggenangi lubang-lubang di sepanjang jalanan. Putih abu-abu yang terlihat, sosok Cahya sedang berjalan menuju sekolah. Lantunan sholawat bersenandung tidak lupa membasahi bibir cantik Cahya di sepanjang perjalanannya. Jarak antara sekolah dan rumah Cahya menghabiskan waktu 20 menit dengan berjalan kaki. Sesampainya di depan gerbang sekolah, ia langsung memasuki kelas. Seperti biasa, sebelum guru memasuki kelas dan menerima ilmu Cahya selalu membiasakan dengan membaca Al-Qur’an terlebih dahulu. Walaupun hanya 1 sampai 2 lembar saja yang dibaca, namun dengan cara itu Cahya bisa menenangkan hati dan pikirannya.  

Cahya hidup satu  rumah hanya dengan Ibu dan adiknya. Ayahnya meninggal dunia 2 tahun yang lalu akibat kecelakaan saat pulang kerja. Semenjak Ayahnya  meninggal, ibunya lah yang sampai saat ini menjadi tulang punggung keluarga. Ibunya bekerja sebagai seorang penyapu jalanan yang berpenghasilan Rp30.000, per hari. Di sini Cahya berfikir, hanya dia lah yang menjadi satu-satunya harapan ibunya. Adiknya mengalami kelumpuhan pada kaki dan tangan sejak lahir. Oleh karena itu, Cahya  ingin membantu meringankan beban ibunya. Karena disetiap hari adiknya juga perlu pengobatan. Namun apalah daya, usaha yang bisa ia lakukan saat ini hanya belajar dengan tekun.

Menyadari kondisi yang masih kurang, Cahya berusaha membantu ibunya dengan berjualan di sekolah. Ia menjual karyanya berupa kaligrafi yang dicetak di kertas buffalo. Walaupun kaligrafinya sederhana, Cahya tidak pantang menyerah untuk terus menjual karyanya itu. Namun Cahya berfikir, kegiatan berjualannya ini jangan sampai ibunya mengetahui, jika ibunya mengetahui pasti ibu akan melarangnya.  Cahya melakukan hal ini ada maksud tersendiri untuk mewujudkan impian ibunya. Yaitu membelikan sajadah warna putih yang terbuat dari sutra, asli buatan Aceh. Dari  Cahya umur 8 tahun ibunya pernah mempunyai keinginan untuk membeli sajadah itu, katanya sajadah itu sama persis seperti sajadah pemberian Almarhum neneknya dulu. Sajadah pemberian nenek dulu rusak akibat kesalahan ibunya saat mencuci. Ibunya pun merasa sangat bersalah dan ingin sekali memiliki kembali sajadah itu. Oleh karena itu, Cahya ingin mewujudkan satu impian ibu untuk memperoleh kembali sajadah itu dengan menjual karya-karyanya.

Setelah mata pelajaran kelas usai, jam istirahat pun tiba. Cahya langsung segera menuju ke koperasi sekolah untuk mulai berjualan. Hari ini kaligrafi Cahya lumayan laku banyak, dan peminatnya kebanyakan dari kakak kelas.

“Dek Cahya sempet-sempetnya membuat kaligrafi sebanyak ini. Padahal tugas juga banyak kan dek?  Bagus-bagus juga  buatanmu,” tutur ketua Osis pada Cahya.

“Alhamdulillah kak, kita hanya bisa berusaha. Selebihnya Allah yang ngatur, hehehe. Yang penting Cahya tidak lupa selalu bersyukur kak,” jawabnya sopan.

“Cahya aku mau yang itu dong. Satu ya.”

 “Eh yang ini bagus ya. Buatan kamu rapih banget loh Cahya. Rasanya ingin punya ini semua. Hehehehe.”

Kurang lebihnya seperti itulah pelanggan Cahya. “Alhamdulillah. Iya silahkan pilih-pilih aja dulu. Mana yang menurut kalian bagus,” respon Cahya yang tidak lupa dengan sikap anggunnya.

Beberapa saat kemudian setelah sebagian jualan Cahya laku, ada 3 murid cewe yang mampir ke koprasi  untuk membeli pensil. Namun, Cahya merasakan ada yang aneh dengan suasana waktu  itu.

“Heh! Jadi lo yang namanya Cahya si penjual tulisan gak jelas ini.” Dengan tiba-tibanya cewe itu gebrak meja koprasi dan sontaknya Cahya langsung kaget.

“Maaf ya mbak, ini ada apa sebenarnya? Bisa dibicarakan dengan baik-baik jika ada keperluan dengan saya,” sahut Cahya

“Gausah banyak omong deh lo, gara-gara lo, karya gua yang di mading lobi dicopot semua. Ini semua gara-gara tulisan  gak  jelas lo ini. Dasar  perebut hak orang. Penampilan aja sok lugu, tapi hatinya busuk,” bentaknya dengan mengorak-arikkan kaligrafi Cahya.

“Astagfirullah…. Istigfar. Mbak sadar apa tidak dengan perkataan mbak tadi ke saya. Ini bukan urusan saya ya mbak, kalau kaligrafi buatan saya di tempel di mading itu hak mereka. Toh saya juga tidak menyuruh mereka untuk menempel. Tidak seharusnya tindakan mbak begini ke saya, sampai menjatuhkan tulisan Arab ini.” Tegas Cahya.

“Bacot lo bego.”  Plakkkkkk  Cewe itu menampar Cahya.

“Heh! Lo semua denger ya, ini perempuan anak si ibuk-ibuk penyapu jalanan itu loh. Tau gak si kalian? Dia itu miskin gaisss, makannya sampai rela jualan tulisan gak guna kaya gini. Buat makan aja susah kan lo. Hahaha. sok- sok an mau gantiin karya gua.” Celaan dari mulut cewe itu membuat Cahya geram.

Cewe itu mempermalukan Cahya dengan merobek semua kaligrafi Cahya hingga berterbaran dimana-mana.  Murid yang ada di dalam koprasi terdiam. Tidak ada yang berani membela Cahya. Karena cewe itu berstatus sebagai anak kepala sekolah di sekolah ini. Cahya segera membereskan sobekan kaligrafi itu dengan sesekali menghela air matanya yang jatuh.

“Astagfirullah mbak. Mbak keterlaluan ya. Jangan pernah membawa nama ibu saya jika untuk bahan ejekan. Attitude mbak dimana! Ini juga tulisan Arab mbak. Berani sekali menyepelekannya. Tindakan mbak ini sudah termasuk kriminal ya. Jika mbak ada di posisi saya, apa mbak terima dengan tindakan seperti ini?” Tegas Cahya lagi.

“Bodoamat. Terserah lo mau omong apa juga gak penting buat gua.” Sambil mendorong Cahya hingga ia jatuh ke tanah. Seperti biasa, Cahya hanya bisa sabar dan sabar jika berada di keadaan yang seperti itu.

Sudah beberapa kali Cahya mendapat hinaan seperti  itu. Namun ia selalu sabar dan ikhlas. Sudah 5 bulan lamanya ia merasakan hal yang sangat sakit jika hinaan selalu membawa-bawa nama ibunya. Ia hanya bisa menangis dan merenungi apa yang telah terjadi. Cahya berlapang dada jika ia di cela dengan orang lain, namun tidak dengan ibunya. Ia merasa bersalah sekali dengan ibunya. Kenapa  tidak  bisa mencegah celaan itu terucap dari mulut orang-orang yang menganggap rendah keluarganya?

Suatu hari, niat Cahya membelikan sajadah akhirnya akan tercapai. Uang hasilnya selama 5 bulan berjualan sudah cukup untuk membeli sajadah. Pulang sekolah ia langsung mampir ke toko sajadah di dekat sekolahnya. Cahya bahagia sekali hari ini. Ia membayangkan raut bahagia ibunya jika melihat sajadahnya kembali. “Tunggu Cahya bu, Cahya bawakan hadiah yang menjadi impian ibu.” Gumam Cahya diperjalanan menuju toko.

“Pak sajadah ini berapa ya?”

“Oh sajadah Aceh itu dek. Harganya Rp95.000.”

“Bungkus rapi ya pak. Saya beli satu.” Ungkap Cahya pada bapak penjual.

Sepanjang perjalanan Cahya membawa sajadah itu sambil senyum-senyum dan tidak lupa juga dengan bersholawat. Ia tidak sabar melihat raut wajah ibunya jika melihat sajadah ini.

Sholatullah salamullah ’ala toha rosulillah sholatullah salamullah.”

Tiba-tiba, brakkkkkkkk. 

Cahya tertabrak truk, saking kencangnya tubuh Cahya terpental  jauh dari truk. Kepalanya terbentur batu besar. Kali itu Cahya masih sadar, namun keadaannya sangat lemah. “Sajadah ibu kemana, itu untuk ibuku.” Rintih Cahya.

Warga pun langsung membawanya ke rumah sakit. Sesampainya di rumah sakit, petugas pun segera menghubungi ibunya karena kondisi Cahya saat ini sangat kritis.

“Sajadah itu mana, itu untuk ibu, berikan sajadah itu pada ibuku. Alluhumma sholli’ala sayyidina Muhammad,” rintihan Cahya setengah sadar.

“Ibu disini nak, Cahya anak  kuat. Cahya harus sembuh demi ibu nak. Cahya yang kuat ya, ingat Allah nak. Kamu pasti kuat,” harap ibu sembari menangis.

“Ibu tolong ambil barang Cahya di meja itu bu,” rintihnya sambil nunjuk meja yang ada disampingnya

“Sajadah ini? Kamu membeli sajadah ini untuk ibu Cahya?”  Kaget ibunya langsung memeluk Cahya dengan erat. Sajadah itu sudah penuh dengan darah.

“Kamu dapat uang dari mana Cahya, masyaallah.” Tanya ibu dengan tangisan yang candu.

“Cahya jualan kaligrafi karya Cahya sendiri bu, maafin Cahya jika tidak bilang ibu. Maafin Cahya juga kalau banyak salah ya.” Jelas Cahya dengan suara yang lemah dan menghela nafas terakhirnya.

“Cahyaa, Cahya, bangun nak. Innalillahi wainnailaihi roji’un. Cahyaaaaaaaa, maafin ibu nak, tidak seharusnya kamu bersusah payah demi sajadah ini ya allah.” Ibunya histeris dan Cahya akhirnya meninggal dunia dengan mewujudkan impian terakhirnya berupa sajadah untuk ibunya. 

Teks: Adelia Halimatus

Editor: MT Naufal

Ilustrasi: Pixabay.com

0

Posting Komentar