Oleh: Listiyowati
Secara etimologis mubah adalah suatu perbuatan yang ketika dilakukan tidak mendapatkan pahala begitupun bila ditinggalkan tidak mendapatkan dosa.
Melansir dari video kajian rutin ngaji turats kitab usul fiqh "Al Waraqat" dikanal youtube UNUGIRI TV pada Sabtu, 12 Februari 2022.
Dr. K. Nurul Huda M.H.I menjelaskan dalam kajiannya, terkait mubah.
Mubah adalah hukum demokratis, hukum yang luar biasa.
Tidak ada reward ataupun punishment.
Mubah merupakan hukum paling demokratis saat umat Islam diberi pilihan oleh Allah SWT untuk menjalankan atau meninggalkan suatu perbuatan.
"Jika mau melakukan diperbolehkan, apabila mau meninggalkan juga tidak apa-apa. Artinya syari'at memberikan kebebasan kepada kita. Itukan demokratis,” jelas warek 3 tersebut.
Menurut pandangannya, karena hal tersebut, umat Islam menjadi abai atau kurang memperhatikan tentang hukum mubah, sedangkan tidak ada diskursus mengenai hukum mubah ini.
Maka dari itu setiap mukallaf perlu pengetahuan dan penelitian menghadapi mubah. Persoalan kebebasan kalau tidak digunakan oleh orang yang cerdas dan bertanggung jawab akan menjadi masalah, bukan?
"Seharusnya kita perlu curiga. Sebab mubah itu area bebas.
Bayangkan jika kita dilepas oleh Allah SWT begitu saja," ungkapnya.
Ia juga memberikan contoh dalam dunia kesehatan dengan menggunakan perumpamaan makan.
Makan itukan mubah, tapi jika makannya berlebihan nantinya akan berdampak seperti apa, itu yang bisa menentukan baiknya melakukan atau meninggalkan perbuatan mubah adalah kita sendiri.
Oleh karena itu perlu melakukan penelitian.
Mubah juga bagian dari hukum syariat tetapi bukan taklif.
Pengertian taklif adalah menuntut sesuatu yang ada beban dan kesulitan.
Meskipun persoalan mubah yang tidak begitu penting Filfi'li wartarki yakni tidak ada keberatan: kalau dilakukan silakan, ditinggalkan juga silakan.
Namun, jumhur ulama mengatakan, mubah itu bagian dari hukum syara', tetapi tidak menjadi bagian dari hukum taklif.
Di dalam perkara mubah itu tidak ada pembebanan. Kan kita bebas memilih.
Namun ada satu pendapat yang mengatakan mubah itu taklif. Yakni argumen dari Abu Ishaq Al Isfarayaini yang berpendapat bahwa hukum mubah ini taklif karena keharusan meyakini tentang kemubahannya. Karena kewajiban meyakini itulah mubah masuk bagian taklif.
Lalu apakah mubah itu diperintah?
Jawaban dari jumhur ulama mengatakan, mubah itu tidak diperintah. Tetapi ada sebagian ulama yaitu Al Ka'bi al Mu'tazili, dan dua ulama lainya berpendapat jika mubah itu diperintah.
Pihaknya juga menjelaskan bagaimana logika mereka.
"Saat melakukan perbuatan mubah misalnya: diam, tidak berbicara. Pada saat itu kita meninggalkan kalimat kufur. Watarkul kufuri itu kan wajib. Artinya melakukan mubah itu sekaligus meninggalkan keharaman, " paparnya.
Menurut Al Ka'bi Al Mu'tazili mubah juga diperintah. Akan tetapi jika logika ini diteruskan, perspektif di atas menyebabkan hampir semua hukum seperti sunnah, haram, mubah dan makruh bisa menjadi wajib.
"Siwakan merupakan perbuatan sunnah. Ketika kita melakukan siwakan, pada saat itu juga kita meninggalkan minum khamr. Sedangkan meninggalkan minuman keras itu hukumnya wajib. Masak mandub atau sunnah malah jadi wajib? tidak bisa kalau seperti itu, " imbuhnya.
Menurut pendapatnya, logika tersebut tidak bisa dilanjutkan. Apabila diteruskan nantinya hukum itu seperti tidak punya substansi kepada dirinya sendiri atau bisa terbolak-balik.
Sunnah bisa menjadi wajib, haram bisa menjadi wajib dan seterusnya.
"Sudah seharusnya hukum mubah ini mendapatkan perhatian dari kita. Karena Allah sudah memberikan pilihan bebas dan sudah diserahkan kepada kita. Untuk bisa memilih kita harus punya dasar pengetahuan agar kita bisa mengerti kapan memilih, kapan tidak, dan kapan menghentikan. Saya katakan sekali lagi bahwa mubah ini satu-satunya hukum paling demokratis," tuturnya dalam ngaji turats dikanal youtube.


Posting Komentar