Oleh: Septiani Favika
Arusgiri-Tinggal menghitung jam, waktu sahur akan tiba. Membayangkan tempe mendoan berpadu sambel terasi lengkap dengan es cendol dawet telah menginisiasi isi kepala.
Tidak menutup kemungkinan juga, bayangan itu akan hilang seketika rebahan lebih membikin nyaman.
Ramadan memang sudah di ambang pintu. Bulan yang banyak dirindukan oleh mayoritas umat islam ini seolah membawa kedamaian.
Bagi sebagian orang mungkin ini akan menjadi momen untuk berkumpul bersama keluarga. Merasakan nikmatnya sahur bareng, buka puasa bareng, dan aktivitas lainnya bersama.
Namun Al-Qur'an dan takjil di masjid pun saat ini sedang bertanya pada dirinya sendiri. Akankah nantinya ia banyak dicari oleh orang-orang seperti halnya ramadan-ramadan sebelumnya ?
Seperti yang kita tahu, Indonesia sedang kedatangan makhluk berukuran 150 nanometer. sejak kedatangannya, banyak orang menjadi resah, gundah, dan gelisah dan tak sedikit yang khawatir.
Aktivitas yang biasanya dilakukan di luar rumah harus ditunda, karena keadaan mengharuskan untuk berdiam diri di rumah. Karena himbauan pemerintah pekerja yang harus mencari nafkah di luar rumah pun terpaksa untuk tetap di rumah saja.
Tidak hanya berdampak pada sektor ekonomi saja, virus corona juga membuat ibadah berjamaah tidak lagi diindahkan sebab beribadah di rumah bersama keluarga untuk saat ini jauh lebih indah untuk keselamatan bersama dan menghidupan nilai- nilai kemanusiaan.
Jika pada ramadan-ramadan sebelumnya banyak masjid, mushola, dan langgar mendadak penuh sesak oleh jamaah. Saat pandemi seperti ini, ruang ibadah umat Nabi Muhammad itu justru menjadi salah satu tempat terlarang. Semua dikerjakan berjarak, serba sendiri. Tapi tidak semengenaskan kamu jombs, masih bisa bersama keluarga yang satu rumah kok.
Itu artinya, tidak ada lagi jadwal ketemuan yang pada tahun-tahun sebelumnya dialihkan pada jam tarawih ataupun tadarusan. Jangan salah paham dulu, ketemuan disini maksudnya bersilaturahmi dengan teman sejawat dan tetangga. Berpuasa memang tidak hanya membuat beberapa orang menutup mulut dari makan, minum, dan juga ghibah. Untuk sekedar bercanda atau saling sapa saja kadang ogah. Seakan takut sekali kalau tenaganya habis sebelum adzan magrib mempersilahkan berbuka.
Kecemasan selanjutnya, kemungkinan ramadhan tahun ini tidak ada konsep ngabuburit. Tapi setiap bulan suci tiba, saya juga tidak mau menanggalkan kesempatan jalan-jalan menjelang berbuka puasa tersebut.
Mau tidak mau, demi tetap mematuhi peraturan pemerintah, ramadan kali ini akan berlangsung tanpa ngabuburit. Toh, kalaupun tetap memaksakan keluar, tidak menjamin ada rentetan penjual takjil atau serba-serbi baju lebaran yang bakal meramaikan seperti ramadan sebelumnya.
Lalu, jika sudah kehilangan jadwal ngabuburit, bisa dipastikan juga bakal kehilangan kegiatan paling hits di bulan ramadhan, apalagi kalau bukan bukber alias buka bersama. Memangkas acara buka bersama berarti juga menunda kesempatan bertemu mantan yang sudah lama tidak berjumpa. Itupun kalau kamu punya mantan di bangku sekolah. Misal mantan direktur percontekan. Hahaa
Sungguh, berbagai kecemasan di atas belum ada apa-apanya dibanding kecemasan masyarakat yang kehilangan pekerjaan. Jangankan untuk mencemaskan ngabuburit, memastikan menu berbuka puasa saja belum tentu ada. Apalagi perkara baju lebaran. Entah itu dinomor berapakan.
Di rumah saja tidak sepenuhnya baik dalam kondisi pandemi ini. Bukan hanya sekedar tidak bisa tarawih di masjid, tadarusan di mushola, atau melakukan kajian-kajian keislaman di tempat ibadah lainnya. Tapi di luar sana banyak yang lebih dulu menahan lapar sebelum ramadan tiba. Sengaja tidak jalan-jalan agar sisa uang bisa dibuat makan. Menahan rindu dalam-dalam karena selain mudik dilarang, biayanya juga tidak memungkinkan.
Ada juga yang rela mengesampingkan himbauan pemerintah untuk tetap di rumah saja, sebab ada hal lain yang lebih penting dan harus dilakukan, mencari sesuap nasi untuk keluarganya. Jika mereka tidak bekerja dan tetap berdiam diri di rumah bisa menyebabkan masalah baru, sebab mati kelaparan.
Berbagai upaya pemerintah dan masyarakat terus dilakukan untuk mengatasi masalah ini. Memang tidak mudah di posisi yang seperti sekarang ini, yang lebih penting dari itu semua adalah kita harus saling menguatkan, sadar diri, bergandengan tangan, melawan pandemi ini agar kita semua lulus ujian.
Dengan datangnya bulan suci di tengah-tengah pandemi ini harus benar-benar mampu menyadarkan umat, akan pentingnya kesehatan, saling berbagi, saling bersolidaritas menghadapi pandemi ini. Ramadan harus tetap mulia meski yang membersamainya adalah corona.
Jangan lupa tetap jaga kesehatan, mari bersama sambut ramadan dengan hati terbuka.
Posting Komentar