arusgiri.com - Ibu tetaplah ibu. Yang bekerja paling awal, dan bahagia paling akhir. Ia disebut-sebut dan banyak disanjung oleh masyarakat Indonesiapada tanggal 22 Desember. Karena pada hari ke dua puluh dua di bulan terakhir masehi lah, peringatan hari ibu ditetapkan. Dimana peran wanita ramai diperbincangkan, di elu-elukan, dipuji, disanjung setinggi-tingginya melambung. Acara seremonial turut digelar, doa-doa dihaturkan, pun air mata haru seakan ikut memeriahkan.
Beberapa menghadiahkan barang berharga, meski tak seberapa untuk ukuran kasih sayang. Hadiah itu sebagai perwakilan di hari peringatan. Walaupun kadang, tidak sebanding dengan seluruh yang ibu berikan. Para pemilik akun sosial media ramai-ramai memajang foto-foto ibunya di ruang maya. Dengan bumbu doa dan macam-macam penghargaan yang dibungkus kata-kata. Para pujangga, penyanyi, bahkan politisi ikut memeriahkan tradisi ini dengan kelihaiannya masing-masing. Tapi ibu, apakah segala jasa cukup dikenang sehari saja? Bukankah seluruh penghargaan ini patut dikirim sampai nanti? Ketika ruang hidupmu berganti..
Apapun itu, jasa ibu memang besar sekali. Tidak hanya soal bagaimana seorang anak bisa lahir ke dunia, tapi juga tentang bagaimana anak itu tumbuh menjadi dewasa yang bijaksana. Di tangan ibulah karakter anak terbentuk. Pola pikir tertanam hingga mempengaruhi setiap apa yang dikerjakan. Tidak salah jika kasih ibu kepada beta, tak terhingga sepanjang masa.
Menjadi ibu adalah keniscayaan bagi setiap perempuan. Kodrat wanita mengandung sembilan bulan, lalu bertaruh nyawa untuk menyudahi masa kehamilan. Prosesi paling sakral bagi kaum hawa, melahirkan. Menggendongnya kemana saja, sampai dipastikan anak benar-benar mampu berjalan sendiri tanpa titihan. Bersedia begadang kapanpun anak membutuhkan teman.
Lelah ibu tidak habis disitu saja. Perjalanan masih sangat panjang. Ibu harus bisa mengantar anaknya sampai masa depan. Ketika anak beranjak dewasa, tantangan hidup yang sesungguhnya baru digelar menjadi rute kehidupan yang berliku. Bagaimana sikap dan peran perempuan diuji sebagai ibu. Dalam proses mengasuh dan mengasih anaknya sesuai dengan tupoksi dan kebutuhan.
Di sepersekian usiaku sendiri, ada banyak hal yang telah ibu berikan. Memori tidak mampu mengenang semuanya memang, tapi kebaikan ibu nyata dalam angan, bukan sekedar bualan. Pernah suatu hari di perjalanan pulang, aku berbincang dengan seorang teman. Aku memboncengnya melewati jalan veteran menuju kampus. Dalam perjalanan yang tidak jauh itu, kami sempat menyinggung tentang kebaikan ibu, dan sok sibuknya kami. Betapa tidak sempatnya kami menyelesaikan pekerjaan rumah dan membereskan segala urusan. Kerap terburu-buru mengerjakan hal lain, sesegera mungkin pergi sebelum semuanya selesai. Mencuci baju tidak sampai menjemur, mengambil pakaian kering tidak sampai melipat, dan banyak lagi yang tidak terurai. Dan ibu lah yang menuntaskan segala pekerjaan, di samping membereskan pekerjaannya sendiri yang runyam.
"Ibu itu selalu ada ya untuk kita," ucapnya sambil terus melajukan motor. Aku mendengarnya sendu, mengiyani. Itu benar, dan berkali-kali aku mengalami.
Pada kenyataannya, saat aku tidak sempat mengerjakan tugas rumah atau tugas lainnya, ibu selalu siaga mengambil alih tugas itu. Kadang, sampai muncul rasa sebal, kenapa ibu selalu berbaik hati membantu sedang aku tidak henti merepoti? Apa ibu juga tidak sama sebal kenapa aku selalu begitu? Atau jiwa keibuan memang lumrahnya seperti itu?
Menanggapi pernyataan temanku tadi, aku sedikit bernasehat. Barangkali, cara terbaik untuk membalas kebaikan ibu adalah berbuat sama seperti ibu. Menjadi ibu yang baik untuk anak-anak kita kelak. Menyediakan banyak kebaikan dan waktu yang leluasa. Jika sekarang ibu tanggap membantu, besok kita juga harus mampu menjadi penopang untuk anak-anak kita. Ibu memberi segalanya, kita juga memberi sama besarnya. Penjelasan yang agak panjang dan lebar itu, sepertinya hanya destinasi fatamorgana. Aku dan dia (temanku) sama-sama tidak yakin mampu berbuat demikian. Tidak mudah menjadi ibu seperti ibu.



2 komentar